KOMPAS.com - Setelah mendapat penyerahan wilayah dari Inggris pada 1816, Belanda kembali berkuasa di Indonesia.
Pada masa pemerintahannya yang kedua ini, Belanda menerapkan sistem politik drainage atau Sistem Politik Pemerasan.
Politik Drainage adalah politik penghisapan kekayaan suatu bangsa oleh bangsa lainnya.
Pada awalnya, Belanda melakukan sistem politik ini untuk mengisi kekosongan kas keuangannya.
Namun, Politik Drainage pada akhirnya terus dilakukan meski kas keuangan Belanda telah membaik.
Eksploitasi terhadap sumber daya alam dan tenaga kerja rakyat ini menyebabkan penderitaan dalam berbagai aspek kehidupan.
Akibat paling menonjol dari Politik Drainage adalah terjadinya kemiskinan yang menjerat rakyat Indonesia.
Pengerukan kekayaan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial antara lain dengan cara menarik pajak yang tinggi kepada rakyat pribumi.
Politik Drainage mencapai puncaknya ketika diterapkan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang dilanjutkan dengan sistem ekonomi liberal.
Berikut bukti-bukti bahwa baik VOC maupun pemerintahan kolonial Hindia-Belanda melakukan Politik Ekonomi Drainage di Indonesia.
Baca juga: Sistem Tanam Paksa: Latar Belakang, Aturan, Kritik, dan Dampak
Pada 1818, pemerintah Belanda menunjuk Van der Capellen sebagai Gubernur Jenderal, penguasa tertinggi di tanah jajahan.
Salah satu kebijakan yang dilakukan Van der Capellen adalah penarikan pajak tetap yang sangat tinggi kepada rakyat pribumi.
Hal ini tentu saja memberatkan rakyat hingga mendorong terjadinya protes dan perlawanan.
Pemerintah Belanda terus mencari cara untuk mengatasi masalah ekonomi, hingga akhirnya diberlakukan sistem tanam paksa (cultuur stelsel).
Ide tanam paksa dicetuskan oleh Johannes van den Bosch untuk menyelamatkan Belanda dari kebangkrutan.