KOMPAS.com - Radjiman Wedyodiningrat merupakan seorang dokter dan salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia.
Ia pernah tergabung menjadi anggota Budi Utomo dan pada 1945 terpilih untuk memimpin (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) BPUPKI.
Baca juga: Budi Utomo: Pembentukan, Perkembangan, Tujuan, dan Akhir
Radjiman lahir di Yogyakarta, 21 April 1879 yang memiliki darah Gorontalo dari sang ibu.
Ia pernah bersekolah di Batavia yang dibiayai oleh pamannya, Wahidin Soedirohoesodo.
Pada awal ia menjalani pendidikannya, Radjiman hanya mendengarkan pelajaran di bawah jendela kelas saat mengantarkan putra dari pamannya ke sekolah.
Sampai akhirnya, guru Belanda merasa kasihan kepada Radjiman, sehingga ia diminta untuk mengikuti pelajaran di dalam kelas sampai ia berusia 20 tahun.
Di usia yang masih terbilang muda, Radjiman berhasil meraih gelar dokter dan pada usia 24 tahun, Radjiman mendapat gelar Master of Art.
Tidak hanya di dalam negeri, Radjiman sempat menempuh pendidikan di Belanda, Prancis, Inggris, dan Amerika.
Salah satu alasan yang mendorong Radjiman untuk belajar ilmu kedokteran yaitu karena rasa prihatin yang ia rasakan ketika melihat masyarakat Ngawi saat itu dilanda penyakit pes.
Ia juga secara khusus belajar ilmu kandungan, karena saat itu banyak ibu-ibu yang meninggal karena melahirkan.
Pada tahun 1934, Radjiman memutuskan untuk tinggal di Ngawi dan mengabdikan dirinya sebagai dokter ahli penyakit pes.
Baca juga: Sejarah Perumusan Pancasila: Pembentukan BPUPKI
Selain mengabdikan hidupnya pada masyarakat sebagai dokter, Radjiman juga turut ambil peran dalam lahirnya organisasi Budi Utomo.
Ia bahkan dipercaya untuk memimpin organisasi tersebut pada tahun 1914 sampai 1915.
Pada masa kepemimpinannya inilah Radjiman mengusulkan untuk membentuk milisi rakyat di setiap daerah di Indonesia.
Itulah kali pertama bangsa Indonesia memiliki kesadaran untuk memiliki tentara.
Gagasan tentang milisi rakyat ini diutarakan oleh Radjiman terkait meletusnya Perang Dunia I, serta untuk mengantisipasi adanya serangan dari negara lain terhadap Hindia Belanda (Indonesia).
Namun, usulan Radjiman saat itu ditolak oleh pemerintah Belanda.
Sebagai gantinya, pemerintah Belanda menyetujui pembentukan Volksraad (dewan rakyat) di mana Radjiman menjabat sebagai anggota selama tiga tahun, 1918-1921.
Baca juga: ASEAN: Tokoh, Prinsip, dan Anggota
Pada masa pendudukan Jepang, dapat dikatakan perkembangan politik dunia sedang berkembang sangat cepat.
Sampai akhirnya setelah Jepang terdesak dalam medan Perang Pasifik, Jepang pun menjanjikan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Sebagai bentuk janjinya, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Jawa pada akhir Mei 1945 dan Radjiman menjadi ketua.
Dalam BPUPKI Radjiman berperan dalam membangun pondasi Indonesia.
Ia pun kemudian memimpin sidang pertama BPUPKI, di mana Radjiman mempertanyakan tentang dasar negara apa yang digunakan jika nanti Indonesia telah merdeka.
Dari pertanyaan tersebut, Soekarno pun mengusulkan rumusan dasar negaranya yang dinamai Pancasila, Trisila, dan Ekasila.
Baca juga: Cornelis de Houtman: Jalur Pelayaran dan Akhir Hidupnya
Pada awal kemerdekaan Indonesia, Radjiman diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan kemudian menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia.
Kemudian pada 20 September 1952, Radjiman menghembuskan nafas terakhirnya.
Ia pun diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional pada 2013 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Referensi: