Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kesultanan Jambi: Sejarah, Raja-raja, Masa Kejayaan, dan Keruntuhan

Sebelum berubah menjadi kesultanan, namanya dikenal dengan Kerajaan Melayu Jambi.

Kerajaan Jambi didirikan oleh Datuk Paduko Berhalo bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak, pada 1460.

Pada 1615, kerajaan ini resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar.

Di bawah Sultan Abdul Kahar pula, Kesultanan Jambi mencapai masa kejayaan, di mana Jambi menjadi salah satu perniagaan utama di Sumatera.

Setelah berkuasa hampir empat abad, kerajaan runtuh setelah raja terakhir dari Kesultanan Jambi, Sultan Thaha Syaifuddin, wafat di tangan Belanda pada 1904.

Sejarah berdirinya

Sejak dikuasai Kerajaan Sriwijaya, Jambi telah dianggap memiliki peluang yang baik dalam bidang perdagangan.

Kerajaan Sriwijaya pun diakui sebagai penguasa sukses, khususnya dalam membangun hubungan perdagangan.

Pada 1460, Datuk Paduko Berhalo, yang konon berasal dari Turki, mendirikan Kerajaan Melayu Jambi bersama istrinya, Putri Selaras Pinang Masak.

Meski letak Kerajaan Jambi berada di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi, tetapi keberadaannya tidak luput dari jangkauan Kerajaan Majapahit.

Kala itu, Kerajaan Jambi berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit, yang berpusat di Jawa Timur.

Pada akhir abad ke-16, Kerajaan Majapahit runtuh, bersamaan dengan tersiarnya agama Islam di Jambi.

Kerajaan Jambi secara resmi berubah menjadi kesultanan saat Pangerah Kedah naik takhta pada 1615 dengan gelar Sultan Abdul Kahar.

Masa kejayaan 

Sejak pertengahan abad ke-16, para penguasa Jambi mengadakan perdagangan lada yang menguntungkan dengan bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda.

Kegiatan perdagangan itu juga melibatkan bangsa China, Melayu, Makassar, dan Jawa. Kehidupan ekonomi Kesultanan Jambi yang makmur akibat kegiatan perdagangan inilah yang mampu membawa kerajaan menuju masa kejayaan di bawah Sultan Abdul Kahar.

Sultan Kesultanan Jambi yang pertama ini berhasil membawa kerajaannya menjadi makmur berkat monopoli perdagangan lada dan pengenaan bea ekspor.

Bahkan, pada 1616, ibu kota Jambi sudah dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera, setelah Aceh.

Berdasarkan data VOC, Sultan Jambi meraup keuntungan 30-35 persen dari lada yang terjual.

Sultan Abdul Kahar juga dikatakan sebagai penguasa yang kuat, bahkan tidak takut dengan tuntutan Raja Johor dan tidak pernah mau bekerja sama dengan VOC.

Keruntuhan Kesultanan Jambi

Pada 1643, Sultan Abdul Kahar memilih turun takhta dan kedudukannya digantikan oleh Pangeran Depati Anom atau Sultan Agung.

Hal ini dilakukan setelah VOC menyodorkan perjanjian dagang kepada Kesultanan Jambi, dengan tujuan melakukan monopoli.

Sultan Abdul Kahar menolak perjanjian tersebut dan memilih mengundurkan diri dari takhta kerajaan.

Setelah Pangeran Depati Anom, perjanjian pertama Kesultanan Jambi dengan VOC pun dilakukan, yang perlahan membawa kemunduran bagi kerajaan.

Pada 1680-an, Jambi mulai kehilangan kedudukannya sebagai pelabuhan lada utama setelah pertempuran dengan pihak Johor.

Selain itu, adanya penyelundupan dan utang, juga menjadi penyebab runtuhnya Kesultanan Jambi, yang diperparah dengan campur tangan Belanda dalam politik kerajaan.

Ketika berada di bawah jeratan Belanda, intrik di dalam kerajaan semakin membuat Jambi terpuruk dan rakyatnya dilanda kemiskinan.

Pada 1855, Sulyam Mazaruddin wafat dan kedudukannya sebagai sultan digantikan oleh putranya, Taha Safiuddin.

Berbeda dari penguasa sebelumnya, Sultan Taha menolak keras perjanjian dengan Belanda.

Bahkan, utusan Belanda yang beberapa kali datang untuk menyodorkan perjanjian kepadanya, selalu dihindari.

Akibatnya, Belanda marah dan melayangkan serangan pada 1858, hingga berhasil menguasai istana.

Dalam serangan itu, Sultan Taha melarikan diri, sehingga Pangeran Prabu kemudian diangkat oleh Belanda menjadi penguasa baru di Kesultanan Jambi dengan gelar Sultan Ahmad Nazaruddin.

Ketika Sultan Taha dalam pelarian, Kesultanan Jambi sempat dipimpin oleh beberapa sultan di bawah pengaruh Belanda.

Kesempatan datang ketika terjadi kekosongan kekuasaan pada 1899, setelah Sultan Zainuddin dicopot oleh Belanda.

Namun, Belanda masih berkuasa dengan menempatkan seorang residen untuk menempati posisi sultan.

Riwayat Kesultanan Jambi benar-benar berakhir saat Sultan Taha dibunuh oleh Belanda di persembunyiannya pada 1904.

Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindai Belanda pada 1906.

Kemudian, pada 2012, Sultan Abdurrachman Thaha Syaifuddin dinobatkan sebagai penerus Kesultanan Jambi, tetapi hanya sebagai simbol adat dan tidak memiliki kekuatan politik.

Peninggalan Kesultanan Jambi

  • Makam Taman Rajo-Rajo
  • Masjid Agung Al-Falah Jambi
  • Istana Abdurrahman Thaha Saifuddin
  • Rumah Batu Olak Kemang

Referensi:

  • Putra, Benny Agusti. (2018). Sejarah Melayu Jambi dari Abad 7 Sampai Abad 20. Tsaqofah & Tarikh. Vol. 3 No. 1 Januari-Juni 2018.

https://www.kompas.com/stori/read/2022/05/25/150000079/kesultanan-jambi-sejarah-raja-raja-masa-kejayaan-dan-keruntuhan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke