Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Sri Sultan Hamengkubuwono I, Pendiri Kesultanan Yogyakarta

Ia memerintah sejak 1755 hingga 1792.

Sultan Hamengkubuwono I juga merupakan tokoh yang mendirikan Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat. 

Awal Kehidupan

Sri Sultan Hamengkubuwana I memiliki nama asli Raden Mas Sujana.

Ia merupakan putra Mangkurat IV raja Kasunanan Kartasura yang lahir pada 6 Agustus 1717.

Sejak kecil, Sujana sudah dikenal sebagai sosok yang cakap dalam olah keprajuritan.

Berkat kecakapanya, saat paman beliau, Mangkubumi, wafat pada 27 November 1730, ia pun diangkat menjadi Pangeran Lurah, pangeran yang dituakan di antar para putra raja.

Ketika sudah dewasa, Sujana menyandang gelar baru, yaitu Pangeran Mangkubumi.

Pangeran Mangkubumi sangat taat beribadah dan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur budaya Jawa.

Sifat baiknya ini yang menghasilkan kesetiaan mendalam dari para pengikutnya.

Konflik

Tahun 1742, Istana Kartasura diserang dan diduduki oleh pemberontak.

Pakubuwana II, kakak dari Pangeran Mangkubumi, terpaksa harus membangun istana baru di Surakarta.

Pada akhirnya, pemberontakan berhasil dihentikan oleh Kompeni Hindia Timur Belanda dan Cakraningrat IV dari Madura.

Sisa pemberontak yang dipimpin oleh Raden Mas Said, keponakan Pakubuwana II dan Mangkubumi berhasil menguasai Sukawati, sekarang Sragen.

Pakubuwana II pun mengumumkan sayembara dengan hadiah tanah seluas 3.000 cacah bagi mereka yang mampu mengusir Raden Mas Said dan pemberontaknya dari Sukawati.

Mendengar berita tersebut, Pangeran Mangkubumi bergerak.

Ia berhasil mengusir Raden Mas Said tahun 1746.

Sesuai yang dijanjikan, seharusnya Pangeran Mangkubumi mendapat hadiah tanah seluas 3.000 cacah.

Akan tetapi, dihalang-halangi oleh Patih Pringgalaya yang menghasut raja untuk membatalkan perjanjian sayembara.

Masih belum berakhir dengan masalah tersebut, datanglah Gubernur Jenderal VOC Baron van Imhoff yang semakin memperkeruh suasana.

Ia mendesak Pakubuwana II untuk menyewakan daerah pesisir kepada VOC seharga 20.000 real untuk melunasi hutang keraton kepada Belanda.

Mangkubumi menentang hal tersebut. Akibatnya, terjadi pertengkaran di mana Baron menghina Mangkubumi di depan umum.

Karena merasa sakit hati, Mangkubumi pergi meninggalkan Surakarta bulan Mei 1746.

Ia menggabungkan diri dengan Mas Said sebagai pemberontak.

Perang Suksesi Jawa III

Perang antara Mangkubumi dengan Pakubuwana II yang didukung oleh VOC disebut sebagai Perang Suksesi Jawa III.

Pada 1746, ketika mengangkat senjata melawan VOC, Pangeran Mangkubumi memiliki prajurit sebanyak 3.000 orang.

Satu tahun berselang, jumlah prajuritnya pun meningkat pesat, berjumlah 13.000 prajurit, di mana di antaranya terdapat 2.500 prajurit berkuda.

Pangeran Mangkubumi bersama dengan 13.000 pengikutnya pun memulai pertempuran mereka melawan VOC.

Pertempuran ini terjadi di dua tempat, yaitu Demak dan Grobogan, yang diakhiri dengan kemenangan Mangkubumi.

Akhir tahun 1749, Pakubuwana II mengalami sakit parah. Ia pun menyerahkan kedaulatan negara secara penuh kepada VOC sebagai pelindung Surakarta pada 11 Desember.

Sementara itu, Mangkubumi telah mengangkat dirinya sendiri sebagai raja bergelar Pakubuwana III tanggal 12 Desember di markasnya, sedangkan VOC mengangkat putra Pakubuwana II, Raden Mas Soerjadi sebagai Pakubuwana III pada 15 September.

Dengan demikian, maka ada dua orang Pakubuwana yang bergelar Pakubuwana III.

RM Soerjadi disebut Susuhunan Surakarta, sedangkan Mangkubumi disebut sebagai Susuhunan Kabanaran, karena bermarkas di Desa Banaran daerah Sukowati, Kabupaten Sragen.

Tahun 1751, pertempuran kembali berlanjut di tepi Sungai Bogowonto, di mana Mangkubumi berhasil mengalahkan VOC yang dipimpin Kapten de Clerk.

Perjanjian Giyanti

Tahun 1752, Mangkubumi dengan Raden Mas Said mengalami perselisihan.

Perselisihan ini berfokus pada keunggulan supremasi tunggal atas Mataram yang tidak terbagi.

Akhirnya, Mangkubumi menawarkan dirinya untuk bergabung dengan VOC dan diterima tahun 1754.

Pihak VOC diwakili Gubernur wilayah pesisis utara Jawa Nicolaas Hartingh. Keduanya bertemu untuk berunding langsung pada September 1754.

Usai berunding, dicapai kesepakatan bahwa Mangkubumi mendapat setengah wilayah Kerajaan Pakubuwana III.

Sementara itu, Mangkubumi harus melepas daerah pesisir untuk disewa VOC seharga 20.000 real yang dibagi dua, Mangkubumi 10.000 real dan 10.000 untuk Pakubuwana III.

Akhirnya, tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan nakah Perjanjian Giyanti yang mengakui Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwana I.

Perjanjian Giyanti ini juga merupakan perjanjian persekutuan baru antara pemberontak kelompok Mangkubumi bergabung dengan Pakubuwana III dan VOC untuk melenyapkan kelompok Raden Mas Said.

Bergabungnya Mangkubumi dengan VOC dan Pakubuwana III adalah cikal bakal pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta.

Pendirian Yogyakarta

Setelah Perjanjian Giyanti ditandatangani, Kerajaan Mataram dibagi dua bagian.

Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, sedangkan Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwana I menjadi raja di Yogyakarta.

Bulan April 1755, Hamengkubuwana I memutuskan untuk membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota kerajaan yang menjadi kekuasaannya.

Sebelumnya, di hutan tersebut pernah ada pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat istirahat.

Oleh sebab itu, ibu kota baru kerajaan ini diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat atau disingkat Yogyakarta.

Sejak 7 Oktober 1756, Hamengkubuwana I pindah dari Desa Banaran menuju Yogyakarta.

Hamengkubuwana I memerintah sejak 13 Februari 1755 sampai akhir hidupnya, 24 Maret 1792.

Jasadnya dikebumikan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri. 

Kedudukannya pun digantikan oleh putranya Gusti Raden Mas Sundara yang bergelar Hamengkubuwana II.

Berkat kegigihannya dalam melawan VOC, akhirnya pada 3 November 2006, Hamengkubuwana I dinobatkan sebagai Pahlawan nasional oleh pemerintah Republik Indonesia 

Peninggalan

Peninggalan Hamengkubuwono I bagi Yogyakarta sangatlah besar. 

Beliau mencetuskan Watak Satriya seperti Nyawiji (konsentrasi total), greget (semangat jiwa), sengguh (percaya diri), dan ora mingguh (penuh tanggung jawab). 

Konsep leluhur ini kemudian dijadikan credo atau prinsip bagi para Prajurit Kraton, Abdi Dalem, dan gerakan tari yang disebut Joged Mataram. 

Dalam bidang seni, Sultan Hamengkubuwono I meninggalkan beberapa karya, seperti Beksan Lawung, Tarian Wayang Wong Lakon Gondowerdaya, Tarian Eteng, dan seni Wayang Purwo. 

Referensi:

  • MC, Ricklefs. (1991). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Purwadi. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.

https://www.kompas.com/stori/read/2021/09/23/080000279/sri-sultan-hamengkubuwono-i-pendiri-kesultanan-yogyakarta

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke