Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pencabutan Piala Dunia U20, Momentum Definisi Ulang Nasionalisme Versus Sepak Bola

Kompas.com - 01/04/2023, 05:14 WIB
Firzie A. Idris

Penulis

KOMPAS.com - Pencabutan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 oleh FIFA harus bisa menjadi momentum untuk mendefinisikan ulang isu-isu besar terkait politik luar negeri, termasuk nasionalisme versus sepak bola.

Indonesia masih merasakan dampak dari sikap tegas FIFA yang mencabut hak Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20 2023 setelah adanya penolakan dari Gubernur Bali I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Kedua Kader PDI Perjuangan tersebut bersuara terkait kehadiran timnas U20 Israel di Indonesia.

Walau timnas U20 Israel datang ke Tanah Air dengan menempuh jalur kualifikasi sehingga layak bermain di Piala Dunia U20 lewat sporting merit, kedua sosok tersebut menolak dengan mengutip sikap Indonesia membantu perjuangan Palestina.

Ketua Umum Erick Thohir sendiri mengungkapkan pada Jumat (1/4/2023) bahwa FIFA menganggap penolakan-penolakan tersebut sebagai "intervensi" pihak ketiga.

Baca juga: Erick Thohir Sebut 6 Stadion Piala Dunia U20 di Indonesia Sudah Lolos Kualifikasi

Lobi Erick dengan Presiden FIFA Gianni Infantino di Doha, Qatar, juga tak membuahkan hasil.

Arya Sinulingga, Anggota Komite Eksekutif PSSI, mengutarakan bahwa FIFA tak menyetujui syarat-syarat seperti meminta Israel tak pakai lagu kebangsaan, tak mengibarkan bendera, atau memainkan laga di negara lain.

Hal ini dianggap menyalahi prinsip anti diskriminasi FIFA.

Alhasil, Indonesia harus menerima preseden buruk di mana kita dicabut dari hak menjadi tuan rumah kurang dari dua bulan sebelum turnamen bergulir.

Terkait hal ini, Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, menuturukan bahwa kejadian ini harus jadi pembelajaran.

"Menurut saya ini momentum terbaik untuk mendefinisikan ulang isu-isu besar soal politk luar negeri, isu nasionalisme versus sepak bola, harus dituntaskan," tutur Huda di sesi diskusi Panditfootball di Twitter Spaces pada Jumat (31/3/2023) di mana Kompas.com juga hadir sebagai pembicara.

"Saya tak setuju Ganjar membawa isu nasionalisme dengan penolakannya ini ditujukan ke sikap Bung Karno pada 1957. Menurut saya tidak kontekstual dan tidak nyambung."

Baca juga: Jokowi Akan Undang Timnas U20 ke Istana Usai Piala Dunia U20 Batal

Huda mengatakan bahwa kejadian ini menjadi momentum terbaik untuk menuntaskan berbagai hal terkait politik luar negeri dan nasionalisme vs olahraga sehingga apa yang terjadi tidak terulang lagi.

Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda saat ditemui awak media di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023). KOMPAS.com/ADHYASTA DIRGANTARA Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda saat ditemui awak media di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (2/3/2023).

"Pengorbanan kita ini harus ditebus dengan kita harus dapat reformulasi ulang, definisi menyangkut soal sejarah panjang sentimen nasionalisme kita, relasinya dengan urusan olahraga," tutur Huda.

"Kalau tidak begini akan terus jadi persoalan di kemudian hari."

Hal serupa juga dikatan oleh Ario Bimo Utomo, Asisten Profesor Hubungan Internasional UPN Veteran Jawa Timur, dalam sesi sama.

"Indonesia sebenarnya bisa memakai sepak bola sebagai soft power, sumber kekuatan yang sangat potensial," tuturnya.

"Seharusnya Piala Dunia adalah showcase bahwa kita negara yang kapabel menjadi host acara internasional."

Baca juga: Pemain asal Bali soal Penolakan Timnas Israel di Piala Dunia U20: Saya Malu dan Kecewa

Menurutnya, olahraga dan politik memang tak bisa dipisahkan. Namun, dalam konteks ini seharunya bisa.

"Berkaitan dengan Lex sportiva, olahraga punya otonominya sendiri," tuturnya.

"Lex sportiva ada di statuta FIFA di mana semua negara harus memastikan spirit anti diskriminasi khususnya bagi Indonesia yang punya tantangan dalam menerima delegasi dari Israel."

Ia pun mengatakan semua stakeholder harus bisa berbenah ke depannya dengan melakukan mitigasi risiko.

Proses bidding dikatakan bukan hanya memastikan kesuksesan event tetapi juga komitmen soal filosofi olahraga.

Ia mengatakan bahwa ketika suatu negara sudah bidding maka mereka harus tunduk kepada filosofi olahraga tersebut. Artinya, tunduk kepada statuta FIFA atau FIFA code of conduct.

Ia mencontohkan kasus Palestina di mana dari tujuh Olimpiade musim panas yang mereka ikuti dari 1996, hanya satu negara tuan rumah yang mengakui status mereka sebagai negara.

"Yang mengakui hanya China, di Beijing pada 2008," tuturnya. "Namun, delegasi Palestina tetap bisa masuk."

Petugas mengoperasikan mesin ?pitch stitching? atau jahit rumput di lapangan Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, Senin (27/3/2023). Mesin jahit rumput rekomendasi FIFA itu didatangkan ke Indonesia untuk meningkatkan kualitas standar lapangan di enam stadion yang akan menjadi lokasi penyelenggaraan Piala Dunia U20 pada Mei 2023. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nym.Antara/FIKRI YUSUF Petugas mengoperasikan mesin ?pitch stitching? atau jahit rumput di lapangan Stadion Kapten I Wayan Dipta, Gianyar, Bali, Senin (27/3/2023). Mesin jahit rumput rekomendasi FIFA itu didatangkan ke Indonesia untuk meningkatkan kualitas standar lapangan di enam stadion yang akan menjadi lokasi penyelenggaraan Piala Dunia U20 pada Mei 2023. ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/nym.

"Hal serupa terjadi di sepak bola di mana Yunani bermain lawan Kosovo di UEFA Nations League walau mereka tak mengaku Kosovo sebagai negara. Ukraina juga tak mengakui Kosovo tetapi tetap bermain melawan mereka."

"Prinsip diplomatik kita tidak harus menghalangi dari mengikuti kompetisi," ujarnya lagi. "Yang harus dipikirkan kembali adalah bagaimana memitigasi atau menghindari kondisi-kondisi ini supaya tak terjadi lagi."

Baca juga: Gagal Mentas di Piala Dunia, M Ridho Beri Semangat untuk Timnas U20

Hal ini pun mendapat dukungan dari Hugo Andreas Pereira, anggota Komisi X DPR/MPR RI yang juga kader PDI Perjuangan.

"Saya kaget juga kok Gubernur Bali bisa membatalkan acara oleh negara," ujarnya.

"Ini soal koordinasi di dalam kita yang menjadi momentum untuk menyadari bersama kalau ingin go internasional di olahraga, harus ada pemahaman bersama mengenai semua hal yang menjadi kendala."

"Saya setuju olahraga adalah bagian dari soft diplomacy, negara yang punya prestasi olahraga bagus pasti puinya ruang lebih. Ini bagian dari kepentingan nasional Indonesia."

"Teman-teman PDIP mungkin juga punya pandangan berbeda soal ini," tuturnya.

"Kita harus sama-sama membunyikan ini. Jika tidak akan jadi kendala terus menerus. Mungkin sekarang PDIP, berikutnya bisa yang lain lagi."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com