KOMPAS.com - Sepak bola Indonesia tengah berduka mengingat Tragedi Kanjuruhan usai laga Arema FC vs Persebaya Surabaya, 1 Oktober 2022.
Malam di Stadion Kanjuruhan berakhir kelam dengan jatuhnya 125 korban jiwa.
Sejarah terpuruk dalam sepak bola Indonesia tercipta. Kejadian itu sangat layak menjadi pukulan untuk semua pihak mulai dari federasi, operator liga, suporter, media, hingga pihak keamanan.
Semua pihak perlu memiliki kesamaan persepsi untuk kelancaran pertandingan dari sisi keamanan, kenyamanan, kemeriahan, hingga bisnis.
Baca juga: Menanti Ketegasan Negara di Tragedi Kanjuruhan
Kesamaan tersebut yang belum tercapai di sepak bola Indonesia, setidaknya menurut sosok satu-satunya orang Indonesia pemegang lisensi FIFA Security Officer, Nugroho Setiawan.
Dikutip dari ABC News, Nugroho Setiawan memaparkan beberapa faktor yang berkaitan dengan tragedi Kanjuruhan.
Pemahaman Nugroho soal keamanan saat pertandingan sepak bola tidak diragukan lagi karena dia merupakan satu-satunya orang Indonesia yang mengantongi lisensi sebagai Security Officer dari FIFA.
Sayangnya, sejak 2020 Nugroho tidak lagi menjabat di PSSI. "Ada situasi politik organisasi di mana saya harus menyingkir," ujarnya.
Baca juga: Benang Merah Tragedi Kerusuhan Kanjuruhan
Saat ini Nugroho Setiawan ditunjuk oleh Menko Polhukam RI Mahfud MD untuk masuk ke dalam Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan.
Dalam wawancara ABC News bersama Nugroho Setiawan, ada beberapa faktor yang membuat tragedi Kanjuruhan terjadi.
Faktor pertama tentang penyelenggaraan pertandingan yang memiliki tiga poin penting.
"Saya bicara ini secara normatif ya, karena saya tidak ada di lokasi saat itu. Faktor penyebab itu bisa banyak hal," kata dia.
"Yang pertama ada tiga poin dalam penyelenggaraan pertandingan."
Baca juga: Kisah Aremanita di Kanjuruhan, Berjuang Hindari Gas Air Mata
"Poin yang kesatu adalah kesamaan persepsi pengamanan di antara semua stakeholder."
"Yang kedua adalah kondisi infrastruktur, ini harus dilakukan assessment. Yang ketiga adalah supporter behaviour itu sendiri yang harus kita engineering," jelas dia.
Dalam konteks tragedi Kanjuruhan, tiga poin tersebut belum tercapai.
"Ya itu tadi, kesamaan persepsi, sampai hari ini belum tercapai. Ini merupakan suatu pekerjaan rumah untuk kita bersama," jelas dia.
Letak perbedaan persepsi yang terlihat dalam tragedi Kanjuruhan seperti stakeholder pengamanan (aparat keamanan) dan kepentingan pemegang industri sepak bola.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan: Arhan, Tokyo Verdy, dan Ucapan Duka Tiga Bahasa
"Pendekatan polisi mungkin adalah criminal justice, sementara kalau di industri sepak bola adalah loss prevention."
"Ini kan enggak ketemu nih, jadi ini harus dipertemukan. Pasti ada titik pertemuannya itu dan kesepakatannya harus dibuat."
Faktor kedua menurut Nugroho Setiawan adalah perilaku suporter atau supporter behaviour.
"Kita harus sadari bahwa di FIFA ini sekarang ada safety, security dan juga services, karena sepak bola dilihat sebagai industri," kata dia.
Baca juga: ICJR: Aparat Pelaku Tragedi Kanjuruhan Harus Diproses Pidana, Bukan Semata Langgar Etik
"Istilah supporter juga sudah hampir ditiadakan. Yang ada adalah fans, penggemar, atau kalau ekstrem namanya altruist dan macam-macam."
"Sebenarnya masalahnya itu-itu saja, dan usaha (perbaikan) ke arah situ sering terlupakan karena sibuk untuk menggelar pertandingan dan kompetisinya, mengejar klasemen, dan mengejar revenue barangkali ya," tandas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.