BEIJING, KOMPAS.com - Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengapresiasi penggunaan energi baru terbarukan (EBT) pada perhelatan Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
"IOC memberikan apresiasi yang tinggi untuk program karbon netral pada Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022," kata Ketua Komisi Koordinasi IOC untuk Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022, Juan Antonio Samaranch Junior, Selasa (9/11/2021).
Baca juga: Selain Atlet, 3 Kelompok Peserta Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 Ini Ada di Dalam Gelembung
Penggunaan EBT itu menurut IOC akan menjadi daya tarik sendiri bagi 300 juta suporter Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Samaranch Junior menyebut, pada perhelatan Olimpiade dan Paralimpiade Musim Dingin Beijing 2022, sumber energi pada lokasi-lokasi pertandingan berasal dari angin dan matahari.
Sistem pendingin pada lokasi-lokasi olahraga tersebut memanfaatkan sistem penataan energi karbon dioksida (CO2).
"Ini semua merupakan bentuk pemanfaatan EBT," ucap Juan Antonio Samaranch Junior.
Energi
Pesan energi tidak hanya bergema di China sebagai tuan rumah Olimpiade dan Paralimpiade Musim Dingin Beijing 2022.
Indonesia dalam keikutsertaanya pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) iklim global atau Conference of The Parties (COP)26 di Glasgow, Britania Raya, mulai 31 Oktober 2022 hingga 12 November 2022.
Pada COP26 itu, Indonesia kembali menegaskan komitmennya mencapai Emisi Nol Bersih (NZE) pada 2060.
Selain pemerintah Indonesia, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) juga ikut serta sebagai perwakilan sektor swasta nasional.
Pada kesempatan COP26, ada pembahasan transisi energi.
Ketua Komite Tetap Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Muhammad Yusrizki Muliawan yang hadir di situ menyebut bahwa sektor swasta siap berlari kencang untuk mendukung akselerasi transisi energi.
"Transisi energi sudah menjadi agenda pemerintah Indonesia dalam kerangka mitigasi emisi karbon," kata Yusrizki.
Yusrizki menjelaskan bahwa Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021 – 2030 merupakan tonggak yang telah dinanti oleh sektor swasta yang bergerak di industri EBT.
Pasalnya, RUPTL 2021-2030 memprioritaskan penambahan kapasitas dari pembangkit EBT.
Pemerintah Indonesia dengan Asian Development Bank (ADB), kata Yusrizki, juga telah menyampaikan rencana kerja keduanya melalui kerangka Energy Mechanism Transition untuk mematikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara lebih cepat dari usia teknisnya.
Alternatif pengganti batu bara salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang panelnya dipasang di atas atap rumah.
EBT ini lazim disebut sebagai PLTS Atap.
PLTS Atap menyerap panas matahari untuk diubah menjadi energi.
Yusrizki menyebut bahwa berbagai aspek bisa menjadi pendukung terwujudnya EBT PLTS Atap ini.
Ia menyebut sektor perbankan dan jasa keuangan yang bisa menerapkan peraturan baru mengenai ekspor-impor PLTS Atap On-grid.
Yusrizki lebih lanjut menyebut adanya pembahasan mengenai Tingkat Komponen Dalam Negeri pada COP26.
"Kami mendukung TKDN sebagai komponen green industrial revolution di Indonesia," ucapnya.
Namun demikian, saat ini, kenyataannya, pelaku manufaktur panel surya belum memiliki pasar cukup besar untuk melakukan ekspansi baik dari sisi volume maupun teknologi.
Bertolak dari situlah, menurut Yusrizki, Indonesia bisa mengadopsi model di India.
Di negara itu, pengembang mendapat kebebasan mengimpor hampir 100 persen dari komponen PLTS.
Syarat bagi pengembang mengimpor adalah membangun fasilitas manufaktur di India.
"Jika komitmen ini tidak dipenuhi, dipastikan pengembang tersebut tidak diperbolehkan mengikuti proses tender berikutnya,” kata Muhammad Yusrizki Muliawan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.