"DEK, mau jadi atlet atau sekolah?" Kalimat itu ringkas saja. Namun, ini bukan pilihan sederhana.
Pada suatu masa, Kompas.com tahu benar rasanya berada di simpang jalan, saat dua pilihan yang disodorkan sama-sama sedang hot-hot-nya.
Pada akhirnya, perspektif yang ada di kenyataan sekitar menjadi faktor pemberat untuk pilihan akhir. Untung, pilihan sekolah bisa dijalani sampai lulus.
Masalahnya, tidak semua bibit atlet punya kemewahan pilihan serupa. Jadi atlet bagi sebagian dari mereka adalah satu-satunya pilihan jalan untuk memperbaiki kualitas kehidupan, setidaknya di momen itu.
Kadang, pertimbangannya sederhana. Kalau masuk sarana pelatihan akan dikasih makan.
Ada juga pertimbangan bahwa sekolah bukan pilihan menjanjikan, apalagi di masa rangking dan nilai seolah jadi penentu masa depan.
Poinnya, jadi atlet juga adalah pilihan yang bisa jadi menentukan perjalanan hidup, mempertaruhkan pilihan lain lewat jalan yang tak ada jaminan kepastian tentang hasil akhir.
Memilih jalan atlet bukan pula jalan lempang dan gampang. Tidak setiap orang yang bahkan punya kemauan bisa melewati masa-masa pelatihan dan kompetisi.
Jangan dilihat ketika sudah jaya apalagi terjamin masa tua. Tengok juga perjalanan seorang atlet meniti satu laga atau kompetisi ke laga atau kompetisi berikutnya.
Tak sengaja bertemu raket dan bola tenis semata karena punya rumah diapit dua lapangan tenis, Kompas.com memulai perjalanan dengan menjadi bocah pemungut bola.
Modal sering ketemu dengan interaksi begitu, mulai dibolehkanlah Kompas.com pegang-pegang raket orang. Tipis-tipis saja. Beruntung, ada pelatih yang mengamati lalu menantang untuk serius latihan.
Jangan dibayangkan perkenalan pertama itu sudah pakai sepatu mengkilap apalagi pakai sponsor. Nyeker alias bertelanjang kaki di lapangan jenis hardcourt di jeda lapangan tak disewa orang, adalah awal cerita.
Tenis lapangan juga masuk kategori olahraga mahal, setidaknya pada suatu masa itu. Boro-boro punya raket ideal sesuai postur badan dan ukuran genggaman tangan. Bisa pakai raket besi jadul punya pelatih saja sudah banyak bersyukur.
Menjalani latihan atlet juga gampang bikin jera. Apakah atlet tenis kalau latihan langsung tepok-tepok bola tenis? Sayangnya tidak.
Yang paling dasar, lari, lari, dan lari. Keliling lapangan sudah biasa. Balapan bolak-balik dari garis belakang lapangan sampai ke net, tak istimewa. Naik-turun tangga gedung bertingkat puluhan kali dan tiap kali latihan, barulah sesuatu.