Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Absennya Merah Putih di Denmark dan Kelalaian Menpora Zainudin Amali

Kompas.com - 19/10/2021, 15:36 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SMES keras yang dilancarkan Jonatan Christie dan tidak sanggup dikembalikan dengan baik oleh pemain China Li Shi Feng mengakhiri drama tiga babak pertandingan sekaligus memastikan Piala Thomas kita rebut kembali.

Kemenangan tunggal kedua ini melengkapi kemenangan tunggal putra Anthony Sinisuka Ginting yang harus main tiga gim dan kedigyaaan ganda putra Fajar Alfian dan Muhammad Rian Ardianto yang melibas lawannya dalam dua set.

Ceres Arena, Aarhus, Denmark (Minggu, 17 Oktober 2021), sontak meriah dengan teriakan pemain, official Thomas Cup, dan pendukung Indonesia.

Di tanah air, kemeriahan penonton layar kaca pun tidak kalah serunya. Bayangan pertandingan akan berlangsung ketat mengingat China adalah musuh bebuyutan dalam kancah olahraga badminton, ternyata sirna. China begitu mudah dilibas hanya dalam 3 pertandingan.

Setelah 19 tahun puasa gelar, akhirnya Thomas Cup kembali “pulang kampung”. Kali terakhir Indonesia menyabet Thomas pada 2002 usai mengandaskan Malaysia di final dengan skor 3-2.

Dengan raihan 2021 ini, total sudah 14 kali kita menggenggam Piala Thomas. Menyusul Cina yang pernah 10 kali juara, Malaysia 5 kali serta Denmark dan Jepang masing-masing satu kali.

Kemenangan ini menjadi bukti kerja keras pemain dan pelatih serta pola pembinaan di klub dan pemusatan latihan nasional (Pelatnas) berjalan maksimal.

Hanya saja, kemenangan ini terasa hambar mesi disaksikan langsung oleh Presiden Joko Widodo dari siaran langsung televisi. Bukan lagi hambar, tetapi memalukan!

Kibaran bendera merah putih absen dari acara seremonial penyerahan medali dan Piala Thomas diganti bendera Pengurus Persatuan Bulutangkis Indonesia (PBSI).

Sementara, China yang menjadi runner up serta Denmark dan Jepang yang meraih perunggu bisa bangga dengan bendera nasionalnya.

Kemana merah putih kita?

Kisruh terkait absennya merah putih di arena Thomas Cup ternyata adalah buah ketidakprofesionalan dari seorang menteri pemuda dan olahraga.

Bayangkan, ternyata sejak 2020 Badan Anti Doping Dunia (WADA) menganggap Indonesia tidak mematuhi program test dopping plan (TDP). Lembaga Anti Doping Indonesia (LADI) sebuah badan di bawah Kemenpora tidak bekerja sesuai tugas pokok dan fungsinya.

Seperti tipikal pejabat Indonesia lainnya yang meminta maaf karena desakan publik, Menpora Zainudin Amali akhirnya meminta maaf kepada publik terkait absennya bendera merah putih.

Menurut Menpora, yang salah adalah pandemi.

Jika dilihat dari beban kerja, tugas pokok, dan fungsi kementerian, justru Kemenpora adalah kementerian yang minim bersinggungan dengan pandemi.

Berbeda dengan Kementerian Kesehatan, Sosial, Tenaga Kerja, Koperasi dan UMKM, atau Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Pendidikan, atau Pemberdayaan Ibu dan Anak yang jelas bersinggungan dengan penanganan pandemi.

Hajatan besar Kemenpora justru saat pelaksanaan PON XX Papua kemarin. Itupun PON diadakan saat Covid-19 sedang melandai.

Sanksi dari WADA itu tidak main-main. Jika masih membandel maka Indonesia diharamkan sebagai tempat penyelenggaraan perhelatan olahraga tingkat regional, kontinen maupun internasional. Bendera merah putih pun dilarang dikibarkan di kancah internasional.

Jangan berharap merah putih berkibar di event World Superbike Mandalika yang dihelat November mendatang jika sanksi dari WADA tidak segera dituntaskan.

Setelah ribut baru bentuk tim

LADI yang memiliki dewan pembina Zainudin Amali dengan sekretaris Gatot Dewo Broto dan Chandra Bakti harus diakui memiliki jejak rekam yang mengenaskan.

Ketidakmampuan LADI dalam menyelesaikan pelaksanaan program pengujian yang efektif dianggap WADA sebagai bentuk kesalahan tak berampun.

Aturan WADA mengenai doping adalah melindungi kepentingan atlet baik selama masih aktif sebagai olahragawan atau pasca-mundur dari dunia olahraga.

Aturan doping dimaksudkan agar ada fairness seperti semangat olahraga yang mengedepankan sportivitas.

Doping, baik yang disengaja atau tidak disengaja, kadang merupakan keseharian seorang atlet. Ada minuman yang dikonsumsi harian mengandung doping untuk menguatkan penampilan.

Tugas penting LADI adalah menetapkan peraturan doping, pengambilan sampel sesuai dengan ketentuan, disertai mekanisme pemberian sanksi.

Selain itu, tugas lain adalah mengelola pelaksanaan ketentuan anti-doping, kampanye anti-doping, pencegahan terhadap penggunaan doping, pengawasan terhadap doping dan pengujian sampel doping.

Saya kutip dari tulisan Ninoy Karundeng, mantan karateka nasional Sandy Wirawan mengaku selama karirnya di kancah pertandingan tingkat nasional, regional, maupun kejuaran dunia tidak pernah sekalipun menjalani tes doping.

Inisiatif Menpora Zainudin Amali membentuk tim khusus untuk menyelidiki kasus ini sepertinya percuma. Ibarat menggarami lautan.

Persoalannya terang benderang: LADI tidak bekerja secara profesional, Menpora Zainudin Amali tidak serius memantau kerja LADI.

Dari jejak digital yang ada, LADI terlihat sangat getol menginisiasi pendirian laboratorium doping senilai Rp 200 miliar.

Dalam pertemuan dengan Ketua MPR Bambang Soesatyo di Jakarta,  Jumat (1/10/21), pengurus LADI yang dipimpin Reza Maulana meminta dukungan MPR untuk peningkatan pengukuhan keberadaan LADI dari Surat Keputusan Menpora menjadi Surat Keputusan Presiden.

Sayangnya dalam pertemuan ini LADI tidak mengungkapkan sanksi WADA dan konsekuensi yang diterima Indoneia.

Ketua MPR juga tidak tahu soal sanksi ini. Topik yang mendominasi pertemuan adalah soal pendirian laboratorium senilai Rp 200 miliar dan peningkatan status LADI (Mpr.go.id, 1 Oktober 2021)

Kesan reaktif untuk meredam kemarahan publik akibat absennya kibaran merah putih di Aarhus jelas terlihat dari pembentukan tim khusus Kemepora.

Tugas tim khusus ini antara lain berkomunikasi dengan WADA agar sanksi dicabut. Tugas ini mudah sekali dijawab. Sanksi WADA akan dicabut jika LADI menuntaskan kewajibannya.

Tugas lainnya dari tim khusus adalah menyelidiki mengapa kasus ini bisa terjadi. Tugas ini terkesan sumir. Masalahnya, institusi Kemenpora tidak melakukan tugas pokok dan fungsinya dengan benar.

Akan jauh bermartarbat jika semua pengurus LADI termasuk Menpora Zainudin Amali mengundurkan diri.

Publik akan menaruh respek jika ada seorang menteri yang berinisiatif mundur atas keinginannya sendiri.

Kebiasaan menteri-menteri di Jepang yang mundur karena kesadaran sendiri terlebih tekanan publik harus menjadi preseden di tanah air.

Reshuffle kabinet

Ketidakmampuan seorang menteri mengorganisasikan institusi di bawahnya menjadi pertanda bahwa menteri tersebut memang tidak kapabel duduk sebagai pemimpin kementerian.

Latar belakang sebagai politisi Senayan hingga tiga periode tidak serta merta menjadi tolok ukur kelayakan menjadi menteri.

Ignatius Jonan yang tidak pernah menjadi politisi Senayan malah sangat kapabel ketika diserahi tugas sebagai seorang menteri.

Di sisa masa jabatannya, Jokowi tidak boleh lagi merasa tersandera oleh kepentingan partai-partai pendukungnya.

Justru di sisa masa kepresidenannya, Jokowi harus tegas mencopot Menpora Zainudin Amali agar memiliki legacy kepemimpinan yang baik.

Jokowi selama ini selalu blunder memilih sosok menpora. Sebelumnya, Imam Nahrawi tersandung kasus suap terkait dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia. Kali ini, Zainudin Amali gagal mengurus persoalan doping. 

Soal siapa yang layak menjadi Menpora selanjutnya, terserah kepada pilihan presiden. Yang jelas seorang Menpora harus bisa membedakan mana pemain tunggal dan mana pemain ganda bulutangkis. Jangan sampai ada seorang Menpora mengecilkan peran seorang atlet.

Pasangan ganda putra Fajar Alfian dan Muhammad Rian Ardianto disebut Zainudin Amali sebagai tunggal putra baru yang tidak dikenal publik. Padahal pasangan ganda ini sudah lama malang melintang di dunia tepok bulu dan duduk di peringkat 7 dunia.

Bisa jadi penggantian Zainudin Amali menjadi pintu pembuka bagi Jokowi untuk melakukan reshuffle kabinet yang lain demi penuntasan janji-janji kampanyenya dulu

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com