“JADI berbicara tentang Pancasila di hadapan Tuan-tuan, saya mengemukakan intisari dari peradaban kami selama dua ribu tahun... Pancasila mempunyai arti universal dan dapat digunakan secara internasional,” kata Presiden Soekarno pada 30 September 1960 di depan Sidang Majelis Umum (MU) ke-15 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS).
Soekarno berpidato di markas besar PBB, New York, AS dengan judul pidato ‘To Build the World A New”. Isi cuplikan pidato itu antara lain Indonesia memiliki Pancasila, ideologi sejak ratusan bahkan ribuan tahun. Soekarno mengkritik pandangan ahli matematika-fisika Bertrand Russel (1872-1970) asal Inggris, bahwa hanya ada dua ideologi dunia abad 20, yakni liberalisme vs komunisme.
Tahun 1960 itu pula, sosiolog asal Universitas Harvard (AS), Daniel Bell, merilis buku The End of Ideology. Bahwa era ideologi humanisme asal abad 19 dan awal abad 20 telah redup.
Faktor pemicunya ialah lahirnya era baru: pergeseran dari manufaktur ke sektor-sektor jasa ekonomi, peran sentral dari industri-industri berbasis sains baru seperti revolusi teknologi informasi, dan lahirnya elite baru teknokrat di berbagai negara (Bell, 1960, 2000).
Baca juga: Sejarah Perumusan dan Lahirnya Pancasila
Bell melihat ideologi, bukan cuma berisi Weltanschaung atau wawasan budaya-bangsa tentang tata-dunia, tetapi juga suatu fondasi-keyakinan (belief-system), hasrat, dan seluruh pola hidup berbasis sejarah suatu masyarakat; ideologi sebagai doktrin politik berisiko digerus oleh revolusi ilmu-pengetahuan dan teknologi.
Bell juga melihat bahwa negara-kesejahteraan memupuskan perkiraan ekonom-sosiolog Karl Heinrich Marx (5 Mei 1818 – 14 Maret 1883) asal Jerman tentang risiko konflik-konflik antara pemilik modal dan pekerja. Begitu kira-kira Bell tafsir risiko redupnya ideologi demokrasi-liberalisme AS tahun 1950-an.
Jelang akhir abad 20, bubarnya imperium Uni Soviet tahun 1991 seolah-olah memperkuat tesis Bell (Summers, 2011). Begitu pula Profesor Gayil Talshir, Dr Mathew Humphrey, dan Dr Michael Freeden merilis buku Taking Ideology Seriously: 21st Century Reconfigurations (2018).
Abad 21 mengantar dunia ke zaman baru yakni era pasca-ideologi antara lain rapuhnya sosialisme dalam tata-kelola negara dan tata-dunia kini. Begitu kata Talshir et al (2018).
Sejak akhir abad 20, posisi dan peran negara-bangsa sebagai pembentuk proses ekonomi dan politik, dan jangkar identitas budaya semakin digerus oleh organisasi dan proses di dalam dan di luar batas-batasnya. Peran negara-bangsa digerus oleh jaringan global ideologi neo-liberalisme melalui kebijakan-kebijakan debirokratisasi, privatisasi, dan deregulasi. Begitu pula ideologi negara-bangsa.
Jessop (1994, 2002) menyebut contoh pengaruh jaringan ideologi neolib antara lain pergeseran dari konsep dan filosofi government (pemerintahan) negara ke konsep dan kebijakan tata-kelola (governance) dari jaringan ideologi neo-lib global. Ini contoh proses de-statisation atau proses denasionalisasi negara-bangsa dan ideologinya serta internasionalisasi para pemangku kepentingan dalam berbagai kebijakan negara-bangsa.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.