KOMPAS.com - Tari Lenggo adalah sebuah tarian tradisional yang berasal dari Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tari Lenggo merupakan tari peninggalan Kerajaan Bima yang sempat berkuasa di NTB pada masa lalu.
Dikutip dari buku Tari-Tarian Indonesia Volume 1 (1977) karya Sudarsono, tari Lenggo adalah tarian yang sering ditarikan di lingkungan Kerajaan Bima atau kantor pemerintahan saat kedatangan tamu resmi.
Tari klasik ditarikan oleh empat orang perempuan dan empat orang laki-laki. Di mana mereka mengenakan pakaian adat tradisional Kota Bima (baju bodo).
Ketika menari diiringi dengan musik dari serunai (seruling), gong dan katonggak (gendang dari kulit).
Baca juga: Tari Serimpi, Tarian Klasik Yogyakarta
Tari Lenggo diciptakan pada masa Kerajaan Bima dipimpin oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin. Beliau merupakan raja kedua Kerajaan Bima yang memerintah pada 1640-1682.
Pada masa Sultan Abdul Khair Sirajuddin, seni dan budaya tradisional berkembang. Salah satu dari kesenian tersebut adalah tari Lenggo atau tari Mpa'a Lenggo yang bertahan hingga saat ini.
Pada tari Mpa'a Lenggo ada dua jenis, yaitu mpa'a lenggo mone atau lenggo malaju dan mpa'a lenggo siwe atau lenggo mbojo.
Dalam setiap pertunjukkan, mpa'a lenggo mone akan dipergelarkan bersaaa lenggo siwe pada upacara u'a pua atau disebut lenggo u'a.
Jadi lenggo u’a pua merupakan gabungan lenggo mone dengan lenggo siwe yang digelarkan pada upacara u’a pua.
Baca juga: Tari Bedhaya Ketawang, Tarian Sakral Keraton Kasunanan Surakarta
Dikutip dari situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), lenggo mone berasal dari pagar uyung Sumatera Barat.
Tarian tersebut dikenalkan oleh para mubaligh dari Sumatera Barat di masa pemerintah Sultan Abdul Khair Sirajuddin.
Kata mpa'a berasal dari Malayu, Sumatera Barat maka disebut Mpa'a Lenggo Malayu (Melayu).
Di mana penarinya adalah pria, karena dinamakan mpa'a lenggo mone (mpa'a lenggo pria).
Mpa'a Lenggo Siwe atau Lenggo Mbojo merupakan tari kreasi yang berasal dari mpa'a lenggo mone yang diciptakan oleh Sultan Abdul Khair Sirajuddin pada 1071.