KOMPAS.com - Tenun lurik tradisional yang berasal dari berbagai daerah seperti Yogyakarta dan Surakarta memiliki motif khas yang beragam dan memiliki makna simbolis.
Seiring perkembangan zaman, motif-motif modern hadir menjadi pengembangan dari motif yang telah ada terutama pada segi coraknya.
Hal tersebut merupakan usaha pengrajin untuk tetap mempertahankan eksistensi kain-kain tradisional.
Dikutip dari buku Lurik-Pesona Ragam & Filosofi (2015) karya Asti Musman, ada beberapa corak kain lurik beserta filosofinya yang berada diberbagai daerah.
Berikut beberapa corak kain lurik beserta filosofinya:
Liwatan dalam Bahasa Jawa artinya dilewati. Kain tersebut adalah salah satu yang digunakan dalam acara selamatan tujuh bulanan atau mitoni.
Baca juga: Kain Tenun Lurik: Pengertian, Corak dan Fungsinya
Nama liwatan memiliki harapan agar bayi yang dikandung dapat lahir dengan selamat.
Motif liwatan termasuk dalam corak lajuran yaitu kelompok garis lajur pada kedua sisi kain yang mengapit pada kelompok garis bagian tengah yang memiliki tata corak warna yang berbeda dengan kelompok garis yang mengapitnya.
Dilansari dari buku Lurik: Garis-Garis Bertuah (The Magic Stripes) (2000) karya Nian S. Djoemen, nama lasem diambil dari nama salah satu gending Jawa.
Lurik corak lasem digunakan pada acara mitoni atau upacara tujuh bulan kehamilan. Motif tersebut merupakan mewujudkan perajutan kasih yang bahagia dan tahan lama.
Motif lasem masuk ke dalam corak lajuran dengan garis-garis lajur yang memiliki ukuran sama serta memiliki warna dasar yang sama. Terlihat jelas adanya pakan malang yang berfungsi sebagai tumpal dalam motif ini.
Baca juga: Merancang dan Membuat Pola Batik
Motif Telu-pat berasal dari Bahasa Jawa yaitu telu (tiga) dan papat (empat).
Corak tersebut merupakan corak lajuran yang berjumlah tujuh dengan komposisi satu satuan berjumlah empat dan satu satuan berjumlah tiga sehingga apabila dijumlah menjadi tujuh.
Angka tujuh dalam kepercayaan Jawa dipercaya sebagai angka keramat yang melambangkan kehidupan dan kemakmuran.
Corak tersebut diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Beliau, memilih perbandingan 3:4, karena dianggap tidak terlalu mencolok.