KOMPAS.com -Era pemerintahan pada masa Soeharto dikenal sebagai Orde Baru (1965-1998) dengan konsep Demokrasi Pancasila.
Dikutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, visi utama pemerintahan Orde Baru adalah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan visi tersebut, Orde Baru memberikan secercah harapan bagi rakyat Indonesia. Tetapi kenyataan yang terjadi, Demokrasi Pancasila sama dengan kediktatoran.
Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen hanya menjadi alat politik penguasa. Hal tersebut dapat terlihat dari karakteristik politik pada periode Orde Baru.
Karakteristik Demokrasi Pancasila pada masa pemerintahan Orde Baru berdasarkan indikator demokrasi, yaitu:
Baca juga: Bukti Normatif dan Empirik Indonesia Negara Demokrasi
Keempat indikator tersebut menjadi bukti catatan hitam perjalanan demokrasi di Indonesia.
Berikut ini penjelasannya:
Rotasi kekuasaan eksekutif terjadi pada jajaran yang lebih rendah seperti gubernur, bupati atau walikota, camat dan kepala desa.
Perubahan selama pemerintahan Orde Baru hanya terjadi pada jabatan Wakil Presiden, sementara pemerintahan secara esensial masih tetap sama.
Rekrutmen politik adalah proses pengisian jabatan politik dalam penyelenggaraan pemerintah negara. Untuk lembaga eksekutif (pemerintah pusat maupun daerah), legislatif (MPR, DPR dan DPRD) maupun yudikatif (MA).
Di negara yang menganut sistem pemerintahan demokratis, semua warga negara yang mampu dan memenuhi syarat mempunyai peluang sama untuk mengisi jabatan politik tersebut.
Tetapi yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, sistem rekrutmen politik bersifat tertutup. Sistem rekrutmen tertutup sangat bertentangan dengan semangat demokrasi.
Pengisian jabatan tinggi seperti Mahkamah Agung (MA), Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan jabatan-jabatan lain dalam birokrasi dikontrol sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan.
Demikian juga dengan anggota badan legislatif. Anggora DPR dipilih melalui proses pengangkatan dengan surat keputusan Presiden.
Pada rekrutmen politik lokal (gubernur dan bupati atau walikota), masyarakat di daerah tidak punya peluang ikut menentukan pemimpin. Presiden memutuskan siapa yang akan menjabat.
Baca juga: Demokrasi Indonesia Masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949)