Tenaga rakyat diperas. Yang paling menderita adalah romusha, para pekerja paksa.
Kebanyakan mereka adalah warga desa yang dipekerjakan secara paksa untuk membangun pangkalan militer, benteng pertahanan, jalan kereta api, dan kepentingan perang lainnya.
Baca juga: Kerja Rodi dan Romusha, Kerja Paksa Zaman Penjajahan
Mereka bekerja tanpa upah. Akibatnya banyak yang mati kelaparan. Jika tidak mau bekerja, Jepang akan menyiksa dengan kejam, tak sedikit yang sampai meninggal.
Jepang berencana menguasai seluruh sumber daya Asia Tenggara atau yang mereka sebut Wilayah Selatan.
Di Indonesia, Jepang menguasai kilang minyak. Minyak bumi dimanfaatkan Jepang untuk kepentingan perangnya.
Dalam upayanya merebut Indonesia dari Belanda, sejumlah obyek vital dan bangunan dihancurkan.
Baca juga: Gerakan Tiga A dan Propaganda Jepang
Akibatnya, pada awal pendudukan Jepang, perekonomian lumpuh. Indonesia yang tadinya baik-baik saja, harus hidup dalam bayang-bayang perang Jepang.
Pemerintah Jepang menyita harta milik Belanda atau harta yang dimodali Belanda. Harta itu meliputi perkebunan, bank, pabrik, pertambangan, lisrik, telekomunikasi, dan perusahaan transportasi.
Rakyat yang hidup pada masa pendudukan Jepang sangat menderita. Harta pribadi mereka diminta untuk membiayai perang Jepang.
Jumlah gelandangan bertamabah di kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang dan Surabaya. Tidak jarang mereka mati kelaparan di jalan atau bawah jembatan.
Baca juga: Jawa Hokokai, Organisasi Pergerakan pada Masa Pendudukan Jepang
Pasar gelap tumbuh di kota-kota besar. Akibatnya, barang-barang keperluan sulit didapatkan dan semakin sedikit jumlahnya.
Para perempuan juga dipaksa untuk melayani tentara Jepang. Mereka disebut Jugun Ianfu atau wanita penghibur yang mengikuti tentara. Nama resminya adalah teishintai atau barisan sukarela penyumbang tubuh.
Di desa, hasil ternak dan hasil tani rakyat pun diambil pemerintah Jepang. Para petani yang tadinya hidup baik-baik saja, dijadikan romusha.
Akibatnya, ladang dan kebun tak terurus. Rakyat hanya makan seadanya, seperti ubi-ubian dan daun-daunan.
Tak cuma pangan, urusan sandang pun jadi masalah. Sebelumnya, urusan sandang sangat bergantung pada impor dari Belanda. Selain itu, tanaman kapas terbengkalai dan gagal panen.
Baca juga: Sistem Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia
Akibatnya, rakyat yang tak mempunyai pakaian yang layak. Banyak yang hanya memakai karung hingga lembaran karet mentah.
Untuk mengatasi kekurangan sandang, Jepang memaksa petani menanam kapas dan membuka usaha konveksi. Bahkan pada April 1944 sempat diadakan Pekan Pengumpulan Pakaian untuk Rakyat Jelata.
Penyakit kudis dan TBC mewabah. Banyak yang meninggal dalam kondisi mengenasikan. Kehidupan pada era pendudukan Jepang adalah yang terburuk sepanjang sejarah Indonesia.
Baca juga: Fujinkai, Barisan Wanita Bentukan Jepang