Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/01/2020, 08:00 WIB

KOMPAS.com - Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel menjadi bagian pilu dari sejarah penjajahan Indonesia.

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), cultuurstelsel atau sistem tanam paksa adalah kebijakan Pemerintah Hindia Belanda memaksa para petani pribumi menyisihkan sebagian lahannya untuk ditanami komoditas ekspor atau bekerja suka rela menggarap tanah pemerintah.

Potret Gubernur Jendral Hindia Belanda Johannes Graaf van den Bosch (1780-1844) dilukis oleh Raden Saleh pada 1811 ?1880.Rijksmuseum Potret Gubernur Jendral Hindia Belanda Johannes Graaf van den Bosch (1780-1844) dilukis oleh Raden Saleh pada 1811 ?1880.
Sistem tanam paksa dibuat oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada 1830. Van den Bosch mewajibkan para petani menyediakan seperlima atau 20 persen lahannya untuk ditanami komoditas yang sangat laku di pasar Eropa.

Komoditas yang dimaksud di antaranya gula, kopi, serta nila atau tarum. Tanaman ini ditanam di samping padi yang digarap petani.

Baca juga: Sejarah Tempe, Makanan Kaya Protein yang Lahir dari Era Tanam Paksa

Yang tak punya di sawah, diminta bekerja menggarap lahan milik Pemerintah Hindia Belanda. Lama masa kerja mencapai seperlima tahun atau 66 hari.

Tanah yang dialokasikan untuk komoditas ekspor, tidak dikenakan pajak. Petani baru mendapat keuntungan jika hasil tanaman nilainya lebih dari nilai pajak yang dibebaskan.

Namun jika gagal panen, maka petani harus mengganti rugi. Risiko gagal panen hanya ditanggung pemerintah jika disebabkan hal-hal di luar kelalaian petaninya.

Menyengsarakan rakyat

Sistem tanam paksa tak berjalan sesuai niat awalnya. Rakyat disengsarakan dengan sistem ini.

Baca juga: Budi Utomo, Sejarah Berdirinya dan Peranannya

Hukum tertulis menyebut rakyat mengalokasikan lahannya secara sukarela. Namun dalam praktiknya, rakyat dipaksa.

Ketentuan seperlima lahan atau 66 hari kerja, nyatanya diminta lebih oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Rakyat juga dibuat kesulitan dengan tanggung jawab mengirim hasil komoditas tanam paksa. Kala itu, belum ada sarana transportasi logistik.

Jika gagal panen, rakyat tetap yang harus menanggung. Mereka yang sudah kena kewajiban tanam paksa, masih harus membayar pajak.

Baca juga: Kisah Sukses Belanda Jadi Eksportir Makanan Terbesar Kedua di Dunia

Dikutip dari Tanah dan Tenaga Kerja (1992), sistem tanam paksa menyimpang dari yang dijanjikan Gubernur Jendral van den Bosch.

Penyimpangan itu muncul dalam bentuk cultuurprocenten. Cultuurprocenten adalah pemberian untung kepada petugas apabila hasil yang dicapai melebihi target produksi yang telah ditentukan pada setiap desa.

Petugas yang ditunjuk pemerintah Belanda yakni penguasa pribumi dan bupati atau kepala daerah.

Pemberian premi yang dimaksudkan agar para petugas itu bekerja dengan baik, ternyata disalahgunakan. Tenaga petani diperas demi mengejar premi sebanyak-banyaknya.

Baca juga: Sejarah Cokelat Bisa Ditemui di Indonesia

Multatuli

Derita yang dirasakan rakyat pribumi akibat cultuurstelsel, ditentang banyak orang dari Belanda sendiri. Di pertengahan 1850-an, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda kebanjiran kritik.

Salah satu kritik paling keras datang dari penulis Eduard Douwes Dekker. Douwes Dekker mengkritiknya lewat roman tentang sistem tanam paksa di Lebak, Banten.

Agar selamat dari persekusi Belanda, Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Karyanya itu diterbitkan pada 1860 dengan judul Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda).

Kritik dari Douwes Dekker dan warga Belanda lainnya baru didengar Pemerintah Hindia Belanda pada 1870.

Cultuurstelsel atau tanam paksa dihentikan setelah dikritik keras. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan UU Agraria pada 1870 dan UU Gula pada 1870, yang mengawali era liberalisasi ekonomi dalam sejarah penjajahan Indonesia.

Baca juga: Meratapi Rumah Multatuli

Sistem tanam paksa telah memajukan perekonomian dan perdagangan Belanda. Selama tanam paksa diberlakukan antara 1830-1877, rakyat pribumi telah memperkaya Belanda hingga 823 juta gulden atau setara dengan Rp 6,8 triliun berdasarkan kurs Desember 2019.

Sebagai ganjaran, Gubernur Jenderal van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh Raja Belanda pada 25 Desember 1839.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rekomendasi untuk anda
27th

Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!

Syarat & Ketentuan
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE
Laporkan Komentar
Terima kasih. Kami sudah menerima laporan Anda. Kami akan menghapus komentar yang bertentangan dengan Panduan Komunitas dan UU ITE.
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar
Close Ads
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.

Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+