KOMPAS.com - Siapa yang tidak kenal dengan Suriname? Suriname adalah sebuah negara yang berada di Amerika Selatan.
Di Suriname, bahasa Jawa merupakan bahasa sehari-hari di negara bekas jajahan Negara Belanda ini.
Bahkan warga negara di sana banyak yang merupakan keturunan Jawa.
Meski bahasa Jawa sudah menjadi bahasa sehari-hari warga di sana, tapi bahasa nasional di Suriname adalah bahasa Belanda.
Baca juga: Menlu Suriname Apresiasi Bantuan Indonesia
Luas wilayah Suriname sekitar 163.265 kilometer persegi. Jumlah penduduknya sekitar 563.402 jiwa sesuai data tahun 2017.
Bagaimana sejarah bahasa Jawa bisa masuk ke Suriname?
Suriname merupakan Negara Republik yang terletak di benua Amerika, tepatnya di Amerika Selatan.
Dilansir dari situs resmi Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Suriname sudah ada dan dikenal sejak abad ke-15.
Saat itu, bangsa Eropa berlomba-lomba untuk menguasai Guyana, yang merupakan nama awal Suriname.
Wilayah Suriname merupakan suatu dataran luas yang letaknya di antara Samudera Atlantik, Sungai Amazon, Rio Negro, Cassiquiare dan Orinocco.
Baca juga: Indonesia Bantu Suriname Kembangkan UKM
Mulanya dataran luas itu diberi nama Guyana Karibania oleh para kartografi.
Arti Guyana adalah dataran luas yang dialiri banyak sungai. Karibania berasal dari kata Caribs yang merupakan nama penduduk pertama.
Suriname berbatasan dengan Guyana Perancis di sebelah timur dan Guyana di sebelah barat. Di sebelah selatan berbatasan dengan Brazil dan Samudera Atlantik di sebelah utara.
Dilansir dari Encyclopaedia Britannica (2015), Suriname adalah tanah jajahan Belanda yang memperoleh kemerdekaan pada 25 November 1975.
Suriname juga pernah dijajah oleh Spanyol, Inggris, Perancis, hingga Portugal.
Masuknya orang-orang Indonesia yang mayoritas dari Jawa ke Suriname dimulai sejak tahun 1890. Setelah itu terus dilakukan pengiriman hingga tahun 1939.
Baca juga: Suriname Meminta Indonesia Mengirimkan Pelatih Pencak Silat dan Bulutangkis
Sebagai negara penjajah, Belanda mengirimkan ribuan orang dari Indonesia ke Suriname. Orang yang dikirim itu kebanyakan dari Jawa Tengah, ada juga dari Jawa Timur dan Jawa Barat.
Di sana mereka menjadi tenaga kerja atau budak yang ditempatkan di beberapa perkebunan. Dari tahun 1890 hingga 1939 ada sekitar 32.956 orang Indonesia yang dikirim ke Suriname.
Kemudian terjadi gelombang repatriasi atau kembalinya warga negara dari negara asing menuju negara asal. Banyak yang kembali ke Indonesia, namun banyak juga yang tetap bertahan di Suriname.
Mereka yang bertahan tidak hanya menjadi buruh, namun juga pegawai dan pejabat, seperti anggota DPR dan menteri.
Orang Indonesia yang bertahan selanjutnya menetap dan tinggal di Suriname hingga memiliki keturunan. Ini membuat bahasa Jawa terus berkembang dan menyebar luas di Suriname hingga sekarang.
Mereka tinggal di sejumlah wilayah di Suriname, seperti Saramacca, Coronie, Nickeria, Moengo, Paranam, dab Biliton.
Budaya dan adat Jawa juga masih bertahan di sana. Seperti pesta tayuban, wayang kulit, wayang orang, maupun tari-tarian.
Baca juga: Indonesia dan Suriname Jajaki Kerja Sama Antar-Parlemen
Diberitakan Kompas.com (19/10/2017), Pemerintah Indonesia membuat Family Pilgrim yang difasilitasi KBRI Paramaribo.
Ini untuk mengajak warga Suriname berwisata di Indonesia. Selain itu untuk mempertemukan dengan keluarga di Jawa.
Kebanyakan warga Suriname adalah keturunan Jawa yang tidak mengetahui siapa sanak saudarannya di Indonesia. Mereka mencari keluarganya lewat media sosial.
Mencari keberadaan keluarga di Indonesia tidak mudah. Karena orang-orang Jawa yang dibawa ke Suriname nama aslinya diubah oleh Belanda.
Itu dilakukan agar mereka tidak mempunyai keinginan untuk kembali ke Indonesia.