KOMPAS.com - Tindak korupsi telah lama menjadi bagian dari kehidupan politik dan bisnis Indonesia.
Praktik korupsi di tingkat pemerintahan dan birokrasi telah ada sejak sebelum era kemerdekaan. Bahkan meningkat selama masa kepresidenan Soeharto dari tahun 1967 hingga 1998.
Langkah-langkah pemerintah dalam memberantas korupsi di tahun-tahun berikutnya memiliki efektivitas yang beragam.
Namun yang pasti, hingga kini Indonesia masih menderita akibat praktik suap atau penyuapan dan sogok atau penyogokan di tingkat nasional dan provinsi.
Baca juga: PPP Janji Tak Akan Calonkan Mantan Napi Korupsi di Pilkada 2020
Transparency International, organisasi nirlaba jaringan global yang memerangi korupsi, merilis indeks persepsi korupsi negara-negara di dunia secara rutin tiap tahun.
Pada 2018, Indonesia ada di peringkat ke-89 dari 180 negara yang dinilai tingkat korupsinya.
Peringkat 1 yang artinya bersih tanpa korupsi ditempati Denmark. Peringkat 180 ditempati Somalia yang artinya paling tinggi tingkat korupsinya.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah menunjukkan komitmennya dalam melakukan pemberantasan korupsi.
Komitmen tersebut telah diwujudkan dalam berbagai bentuk ketetapan dan peraturan perundang-undangan di antaranya :
Baca juga: KPK Sebut Peningkatan Dana Bantuan Bukan Jaminan Parpol Bebas Korupsi
Baca juga: Korupsi, Pengertian, Penyebab dan Dampaknya
Peraturan pemerintah untuk pemberantasan korupsi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yang sering disebut UU Tipikor.
UU Tipikor tersebut ditetapkan oleh pemerintah pusat pada 21 November 2001 dan berlaku sejak tanggal penetapan tersebut.
Dengan ditetapkannya UU No. 20 Tahun 2001, pemerintah mencabut UU. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
UU No. 20 Tahun 2001 juga memuat perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca juga: Jokowi Minta Mahfud MD Kawal Penuntasan Kasus Korupsi Besar
UU ini menegaskan, tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas.
Sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Tujuan UU Tipikor untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Dalam UU Tipikor tercantum hukuman dan denda bagi pelaku korupsi atau yang disebut koruptor.
Di Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, koruptor mendapat hukuman dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Dalam Pasal 3 UU Tipikor, pelaku korupsi dan menyalahgunakan kewenangan, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 miliar.
Sedangkan orang yang dengan sengaja mencegah secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi juga dapat dipidana.
Di Pasal 21 UU Tipikor, pelaku akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda minimal Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta.
Baca juga: Korupsi Dana Desa, Pelarian Mantan Kades Berakhir di Tangan Polisi
Dilansir dari bpkp.go.id, komitmen pemerintah Indonesia dalam pemberantasan korupsi juga diaktualisasikan dalam bentuk strategi komprehensif. Upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi mencakup aspek preventif, detektif dan represif.
Strategi preventif adalah usaha pencegahan korupsi yang diarahkan untuk menghilangkan atau meminimalkan faktor-faktor penyebab atau peluang terjadinya korupsi.
Upaya preventif dilakukan dengan cara :
Strategi detektif adalah usaha yang diarahkan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi terjadinya kasus-kasus korupsi dengan cepat, tepat dan biaya murah sehingga dapat ditindaklanjuti.
Baca juga: Perjuangan Lawan Korupsi adalah Perjuangan Melawan Kemiskinan
Strategi represif adalah usaha yang diarahkan agar setiap perbuatan korupsi yang telah diidentifikasi dapat diproses secara cepat, tepat dengan biaya murah sehingga kepada para pelakunya dapat segera diberikan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Upaya represif dapat dilakukan dengan cara :
Baca juga: Data Litbang Kompas, Kepala Daerah Jebolan S1 Paling Banyak Terjerat Korupsi
Dikutip dari kpk.go.id, pemberantasan korupsi membutuhkan kesamaan pemahaman mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri. Dengan kesamaan persepsi, pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara tepat dan terarah.
Adapun tiga strategi pemberantasan korupsi menurut KPK meliputi:
Sistem yang berjalan di Indonesia dinilai masih banyak yang memberikan peluang terjadinya tindak pidana korupsi.
Agar tidak bisa melakukan korupsi, diperlukan beberapa upaya perbaikan sistem:
Baca juga: Upaya Sri Mulyani Cegah Korupsi dari Internal Kemenkeu...
Edukasi dan kampanye dilakukan agar orang tidak mau melakukan korupsi. Edukasi dan kampanye adalah strategi pembelajaran pendidikan antikorupsi dengan tujuan :
Sasaran edukasi dan kampanye anti korupsi tidak hanya kalangan umum dan mahasiswa tapi juga anak usia dini yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak dan sekolah dasar.
Streategi represif ini bertujuan agar orang takut melakukan korupsi. Upaya ini diwujudkan dalam upaya penindakan hukum untuk membawa koruptor ke pengadilan. Dalam strategi ini, tahapan yang dilakukan adalah:
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.