Dikutip dari Encyclopaedia Britannica (2015), Perjanjian Nuklir ditandatangani pada 1 Juli 1968 oleh 62 negara.
Tiga negara besar yang menandatangani kala itu adalah Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. Perjanjian ini baru efektif dilaksanakan sejak Maret 1970.
Tiga pilar utama dalam Perjanjian Nuklir sebagai berikut:
Perjanjian Nuklir berlaku selama 25 tahun untuk kemudian diperbarui. Pada 1995, sebanyak 174 anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan Perjanjian Nuklir berlangsung selamanya dan tanpa pengecualian.
Negara-negara lain yang menemukan teknologi nuklir, meratifikasi atau mengikuti perjanjian ini.
Pada 2007, hanya tiga negara yang menolak menandatangani perjanjian ini. Tiga negara yang menolak Perjanjian Nuklir adalah India, Israel, dan Pakistan.
Korea Utara sempat ikut tanda tangan, namun menarik kembali persetujuannya.
Dikritik tidak adil
Perjanjian Nuklir kerap dikritik tidak adil. Ini karena negara yang belum punya senjata nuklir dilarang mengembangkannya.
Sedangkan negara yang sudah punya, dipersilakan menyimpan senjatanya. Kendati demikian, negara-negara yang belum punya senjata nuklir menerimanya.
Pada 1968 disepakati juga, negara-negara pemilik senjata nuklir dapat membantu negara-negara yang tidak punya senjata nuklir mengembangkan teknologi nuklir.
Teknologi yang dikembangkan bukan untuk pertahanan, melainkan untuk pembangkit listrik.
Perkembangan Perjanjian Nuklir
Pada 2005, Perjanjian Nuklir dikaji lewat Review Conference of the Parties to the Treaty on Non-proliferation of Nuclear Weapons.
Saat itu, ketimpangan atau ketidakadilan Perjanjian Nuklir ini dikeluhkan negara-negara yang belum memiliki teknologi nuklir.
Perjanjian ini memang telah menekan neagra-negara dunia mengembangkan senjata nuklir. Namun ada sejumlah peristiwa yang mengganjal dan melanggar Perjanjian Nuklir.
Berikut pelanggaran Perjanjian Nuklir:
Posisi Indonesia
Dilansir dari situs Kementerian Luar Negeri, Indonesia mendukung masyarakat internasional dalam upaya non-proliferasi dan perlucutan senjata nuklir.
Sejak tahun 1994, Indonesia selalu ditunjuk sebagai Koordinator Kelompok Kerja (Pokja) Perlucutan Senjata Gerakan Non-Blok.
Selama ini, Indonesia telah mengoordinasikan posisi bersama negara-negara Gerakan Non-Blok dalam berbagai forum mekanisme perlucutan senjata PBB.
Indonesia menganggap bahwa Perjanjian Nuklir telah mencegah proliferasi horizontal senjata-senjata nuklir, namun belum sepenuhnya berhasil mencegah proliferasi secara vertikal.
Oleh karena itu, Indonesia meminta agar seluruh negara berpihak pada Perjanjian Nuklir. Termasuk negara-negara pemilik teknolgi nuklir, agar terikat pada komitmen untuk tidak mengembangkan senjata nuklir, baik secara vertikal maupun horizontal (non-proliferation in all its aspects).
Mengenai perlucutan senjata, Indonesia selalu menekankan agar negara-negara nuklir memenuhi komitmennya untuk melucuti senjata nuklir mereka dengan batas waktu yang jelas sesuai perjanjian.
Selain itu, Indonesia menginginkan agar proses perlucutan senjata nuklir bisa diverifikasi (verifiable), tidak dapat dikembalikan (irreversible) dan terbuka (transparent).
Terkait dengan non-proliferasi, Indonesia menginginkan agar Perjanjian Nuklir berlaku universal dan perlu menjadi prioritas utama dan mendesak. Ini agar negara-negara yang belum menjadi pihak Perjanjian Nuklir untuk segera menjalankan perjanjian sebagai negara non-nuklir.
Mengenai pemanfaatan energi nuklir untuk maksud damai, Indonesia menginginkan agar hak setiap negara untuk memanfaatkan energi nuklir untuk maksud damai agar tetap dihormati (Artikel IV Perjanjian Nuklir).
Indonesia terus memperjuangkan diakuinya hak negara untuk mengembangkan energi nuklir untuk tujuan damai, dan tidak disalahartikan sebagai proliferasi nuklir.
Indonesia telah menjadi negara pihak pada Perjanjian Nuklir, Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (CPPNM) and its Amendment, Convention on Nuclear Safety, Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty (CTBT), International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism, dan IAEA Additional Protocol.
Indonesia juga turut berpartisipasi pada pertemuan Nuclear Security Summit (NSS) 2010-2016. Pada pertemuan NSS, Indonesia mengajukan inisiatif penyusunan National Legislation Implementation Kit on Nuclear Security (NLIK).
Inisiatif ini merupakan model legislation untuk mempermudah negara-negara menyusun undang-undang terkait keamanan nuklir yang merupakan implementasi dari traktat-traktat penting, antara lain, CTBT, CPPNM, serta ketentuan-ketentuan IAEA.
Dalam menggunakan model legislation ini, tiap negara dapat menyusaikan dengan kebutuhan dan sistem hukum nasionalnya masing-masing.
Inisiatif Indonesia dimaksud telah didukung oleh 29 negara peserta NSS dan PBB dalam Joint Statement mengenai NLIK.
https://www.kompas.com/skola/read/2020/01/09/173000369/perjanjian-senjata-nuklir--isi-pelanggaran-dan-posisi-indonesia