Oleh: Bayu Permana Sukma
MUNGKIN hampir sebagian besar kita pernah punya pengalaman masa kecil berteman dengan seorang pembual. Begitu pula saya. Saat duduk di sekolah dasar, seorang teman pernah bercerita bahwa ia melihat penguin di sawah.
Baca juga: Mengenali 10 Gerak-gerik Seseorang Ketika Berbohong
Di kesempatan yang lain, ia juga bercerita ayahnya pernah menabrak kuntilanak di jalan tol. Naik ke bangku sekolah menengah pertama, saya kembali dipertemukan dengan bocah pembual.
Di suatu waktu, seorang teman bercerita jika ia pernah terlibat perang antargangster.
Akibat peristiwa itu, sambil menunjukkan bekas luka di perutnya –yang belakangan saya tahu itu bekas operasi usus buntu—, ia katakan bahwa ia tertembak di bagian perut.
Jika mengingat kembali cerita-cerita itu, alih-alih kesal, saya malah tertawa geli. Bualan-bualan tersebut di luar nalar, dan sialnya saya percaya.
Namun setidaknya bualan teman-teman masa kecil saya itu ternyata masih lebih baik jika dibandingkan dengan kebohongan-kebohongan orang dewasa yang saya temui atau sekadar lihat di televisi.
Anak-anak berbohong untuk membuat teman-temannya terkesan, sementara orang dewasa kerap berdusta untuk membujuk orang lain demi mengamankan kepentingannya.
Jika anak-anak berdusta dengan membual kepada teman-temannya, orang dewasa mengelabui orang lain dengan melakukan manipulasi terhadap lawan bicaranya.
Dusta adalah perkataan yang tidak sesuai dengan fakta. Dalam ilmu linguistik, dusta masuk ke dalam ranah semantik.
Baca juga: Apakah Berbohong Membuat Kita Lebih Manusiawi?
Sebagai cabang linguistik yang mengkaji makna sebenarnya (denotatif), semantik secara ideal mensyaratkan sebuah ujaran atau pernyataan untuk memenuhi unsur kebenaran.
Oleh sebab itu, dusta bertentangan dengan kebenaran semantik (Asya, 2013).
Pernyataan “saya melihat penguin di sawah” adalah pernyataan yang melanggar kebenaran semantik karena dua hal: (1) penguin tidak dapat hidup di alam liar iklim tropis –sehingga penguin juga tidak dapat hidup di sawah; (2) karena alasan (1), pernyataan tersebut menjadi tidak logis dan tidak memenuhi unsur kebenaran.
Sementara itu, manipulasi adalah tindakan mengelabui baik secara visual maupun verbal.
Seperti halnya manipulasi visual yang dapat dilakukan dengan kecepatan tangan untuk mengalihkan perhatian –contohnya dalam atraksi sulap—, manipulasi verbal atau manipulasi bahasa juga dilakukan melalui berbagai cara, seperti penggunaan bentuk ujaran yang implisit atau minim petunjuk detail (Tarasov dalam Hindawi & Kamil, 2017).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.