Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Wayang, Seni Pertunjukan Homo Moralis

Kompas.com - 04/05/2023, 16:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Mikka Wildha Nurrochsyam

WAYANG adalah seni pertunjukan yang unik. Wayang tidak hanya menghibur tetapi sarat dengan pesan moral.

Seni pertunjukan wayang saat ini lebih mengutamakan kehadiran bintang tamu seperti pelawak, penyanyi, dan penari. Seringkali pergelaran wayang menampilkan hiburan vulgar dan obrolan yang seronok.

Baca juga: Meneroka Wayang dan Kajian Ilmu

Pentas seperti itu dapat menurunkan kualitas seni pertunjukan wayang. Ekspresi manusia sebagai homo moralis (makhluk bermoral) menjadi persoalan tersendiri dalam pertunjukan wayang dewasa ini.

Akar Moralitas

Jika dicermati, wayang sebagai media untuk menyampaikan pesan moral sudah ada pada abad 1500 SM, pada masa budaya Neolitikum di Nusantara.

Cikal bakal wayang yaitu pertunjukan boneka berbayang untuk persembahan kepada hyang atau arwah leluhur. Saat bayangan boneka bergerak-gerak diyakini roh leluhur telah hadir. Ritual dipimpin oleh saman atau dalang, dengan menyampaikan pesan moral tentang kebaikan dan kepahlawanan leluhur semasa hidupnya.

Peran wayang sebagai ekspresi manusia untuk menyampaikan pesan-pesan moral berlanjut pada masa Hindu (400 M-1500 M). Saat itu, terjadi akulturasi antara budaya Hindu dan budaya lokal. Penduduk lokal dapat mengadopsi pengaruh budaya Hindu secara kreatif.

Perpaduan budaya Hindu dan budaya animisme menjadi rencana intelektual yang tinggi. Pada puncaknya melahirkan karya-karya hebat.

Dalam proses akulturasi, lahirlah wayang. Syair-syair yang indah dari epos Mahabharata dan Ramayana di India memikat penduduk setempat. Kemudian, mereka mencoba mengadopsinya ke dalam pertunjukan wayang.
Kisah tentang kepahlawanan leluhur semasa hidupnya lalu digantikan dengan epos Mahabharata dan Ramayana yang penuh dengan pesan moral.

Demikian pula pesan moral tetap berlanjut pada masa kedatangan Islam di Nusantara pada abad 7-8 M. Pertemuan Islam dengan masyarakat lokal yang beragama Hindu Buddha berlangsung secara harmonis.

Baca juga: Sejarah Akulturasi Budaya China dalam Wayang Cina Jawa di Yogyakarta

Pergelaran wayang pada masa itu berfungsi sebagai media dakwah untuk menyebarkan syiar Islam. Peran Wali Songo menjadi penting. Para Wali menggunakan wayang sebagai sarana dakwah yang efektif untuk penyampai pesan-pesan moral keislaman.

Dalam masyarakat Indonesia kontemporer wayang tetap mempunyai peran untuk menyampaikan pesan-pesan moral.

Namun, pergelaran wayang tidak lagi sebagai upacara agama, atau media dakwah, tetapi mempunyai fungsi sebagai kesenian klasik yang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral tentang berbagai isu sosial dan budaya dalam masyarakat.

Kreativitas dan Inovasi Dalang

Berhadapan dengan situasi masyarakat kontemporer Indonesia, dalang terdorong untuk melakukan kreasi dan inovasi dalam garap pagelarannya.

Wayang digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan moral dalam masyarakat kontemporer antara lain tentang demokrasi, keadilan dan keterbukaan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com