Oleh: Andrew Cheng
PADA penghargaan akademi Oscar ke 95 ini, Film karya Daniel Scheinert dan Daniel Kwan, Everything Everywhere All at Once, memborong penghargaan dalam berbagai kategori yaitu akting, editing, sutradara, dan penyuntingan film terbaik.
Baca juga: Meneropong Perang Antariksa: Film Versus Realita
Film aksi sains fiksi yang ekspansif dan eksentrik ini menjadi terkenal karena keabsurdannya dalam menggambarkan ide multi semesta di dalam filmnya, namun dari keanehan itu, ceritanya masih sangat berhubungan dengan realita yang ada di masyarakat: dalam satu adegan yang terkoreografi dengan baik di Everything Everywhere All at Once, terdapat tiga bahasa yang dibicarakan oleh 3 generasi dari satu keluarga imigran yang semrawut tersebut ketika sedang makan malam.
Sebagai seorang ahli bahasa, aku tertarik kepada bagaimana para penulis dan sutradara menggunakan bahasa di film ini untuk lebih dari sekadar menunjukan adanya dialog antar karakter: bahasa dan subtitle juga dapat menunjukan karakter, menentukan keadaan emosional, dan intelektual sebuah adegan dan ‘membumikan’ cerita fiksi agar sesuai dengan realitas.
Penggunaan bahasa dan subtitles non bahasa inggris yang meningkat menunjukan adanya tren mengangkat bahasa yang realis di Hollywood dan penerimaan secara luas keragaman bahasa dalam masyarakat global.
Namun para pembuat film juga harus menentukan skala prioritas antara mencapai tujuan naratif atau mencapai tujuan audiens. Dengan mempelajari berbagai ideologi yang berbeda antara pembuat film, kita bisa kadang-kadang menemukan hubungan antara bahasa asing dengan kejahatan.
Seperti pembuat film asal Korea Selatan Bong Joon-Ho katakan dalam pidato penerimaan penghargaan Golden Globes untuk filmnya Parasite (2019), ketika para audiens telah berhasil melewati batas tinggi berupa ‘subtitle,’ dunia film yang beragam akan menyambut.
Baca juga: Mengaktualkan Identitas melalui Film Before, Now, and Then (Nana)
Menceritakan cerita yang otentik dari dunia yang modern, global, dan multikultur ini membutuhkan bahasa bahasa yang dipakai oleh masyarakat di berbagai belahan dunia ini. Maka dari itu, di saat yang tertentu, subtitles adalah hal yang dibutuhkan.
Di adegan lainnya dalam Everything Everywhere All at Once bahasa lisan yang digunakan untuk berbicara dihindari sama sekali, terdapat 2 buah batu yang berbicara diam diam sambil memandangi pemandangan tebing coklat yang tandus kemudian diikuti dengan munculnya subtitle berwarna hitam dan putih yang muncul di awan yang biru.
Adegan yang simpel namun sangat emosional tersebut ternyata, entah bagaimana caranya, dapat mengundang banyak tangis orang orang yang menontonnya.
Walaupun film karya Tod Field, Tár, tidak memenangkan satu penghargaan Oscar apapun pada tahun ini, Aktris Cate Blanchett memenangkan beberapa penghargaan lainnya dalam kategori akting untuk perannya sebagai konduktor orkestra.
Di antara beberapa adegan bagus di film tersebut, sang maestro hanya menggunakan bahasa Jerman dalam suatu adegan latihan orkestra dan subtitle tidak dipakai sama sekali.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.