Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Menilik Kebijakan Riset dan Inovasi dalam Platform Ekonomi Biru, Apakah Masih Sebatas Jargon?

Kompas.com - 16/10/2022, 17:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Dr. A’an Johan Wahyudi

Tepat setahun yang lalu saya menulis tentang ekonomi biru dan kaitannya dengan perubahan iklim. Saat itu saya cukup antusias, bahwa program riset dan inovasi terkait hal tersebut sangat feasible.

Saya sempat berpikir, bahwa platform ekonomi biru bisa menjadi arah pembangunan nasional termasuk prioritas riset dan inovasi.

Namun, alih-alih mewujudkannya secara implementatif dalam program riset, belakangan saya menemukan, bahwa Indonesia belum cukup matang dalam mengenal dan memahami platform ekonomi biru ini.

Baca juga: Menakar Korelasi Perubahan Iklim dan Lingkungan terhadap Ekonomi Biru

Sebagai peneliti di bidang kelautan, saya belakangan sadar, bahwa untuk secara progresif melakukan telaah dan kajian tentang ekonomi biru, ada hal-hal yang mendasar yang perlu dicermati dan disikapi terlebih dahulu.

Hal mendasar tersebut adalah mengingatkan kembali akan prioritas riset dan inovasi nasional pada ruang lingkup kelautan dan maritim.

Tahun 2014 lalu, Presiden Joko Widodo menyampaikan dalam pidato pelantikannya: ”Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia.

Bagi peneliti laut, gagasan dan sekaligus cara pandang ini sangat mencerahkan dan membawa angin segar.

Saya berpikir, paling tidak riset dan inovasi sektor kelautan dan maritim akan menjadi perhatian dan prioritas.

Apalagi, kemudian disusul dengan mengemukanya lima Pilar Utama dalam mewujudkan poros maritim dunia.

Kiranya dalam tataran implementatif arah riset nasional ada hal yang cukup menggembirakan saat akhir tahun 2017 dideklarasikan Konsorsium Riset Samudra yang digadang-gadang menjadi platform big science pertama di Indonesia.

Angin segar berikutnya adalah gagasan Digital, Blue, Green Economy pada awal 2021 yang digadang-gadang menjadi platform riset inovasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Akan tetapi, baik poros maritim maupun ekonomi biru, keduanya masih sebatas jargon dan tag line; tidak hanya pada konteks arah pembangunan nasional, namun termasuk dalam implementasi pada konteks prioritas riset dan inovasi nasional.

Kita memang tidak bisa menafikkan, bahwa ada beberapa program kelautan dan maritim yang cukup menggembirakan semisal pertambahan signifikan luas kawasan konservasi laut, atau program percepatan kontribusi sektor kelautan dan perikanan (i.e., karbon biru) dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Namun rasa-rasanya, perkembangan itu masih belum cukup untuk bisa mengatakan, bahwa kita telah pada jalur yang tepat mengusung platform ekonomi biru.

Baca juga: Perkuat Informasi Maritim di Perairan Indonesia, BMKG Lepaskan Drifter dan Floats di Selat Makassar

 

Perkembangan kajian Ekonomi Biru

Sebenarnya, platform ekonomi biru bukanlah hal yang baru, apalagi dalam konteks riset dan inovasi.

Data kepustakaan dari Scopus dan Google Cendekia misalnya, kajian yang mengusung kata kunci “blue economy” sudah tersedia sejak tahun 2010, atau bahkan bisa jadi jauh sebelum itu.

Salah satu buku tentang ekonomi biru terbit pada tahun 2010, namun Gunter Pauli memberikan sub judul “10 tahun, 100 Inovasi, dan 100 Juta Lapangan Kerja”, yang artinya konsep ekonomi biru dikenal satu dekade sebelumnya, yaitu sejak awal abad ke 21.

Asia (Indonesia, China dan India) serta Afrika muncul secara eksplisit dalam bibliometrik terkait “blue economy” ini, yang mengindikasikan tren lokus kajian terkait ekonomi biru (Gambar 1).

Kajian di tingkat global terkait Ekonomi Biru (Blue Economy) berdasarkan basis data Scopus dan Google Cendekia.dok. pribadi Kajian di tingkat global terkait Ekonomi Biru (Blue Economy) berdasarkan basis data Scopus dan Google Cendekia.

Kajian ilmiah ekonomi biru di Indonesia sendiri tidak memakan waktu cukup lama dari tren dunia, yaitu sejak tahun 2012 (menurut catatan dari Google Cendekia dengan kata kunci ‘ekonomi biru’).

Dengan menambahkan kata kunci “blue economy in Indonesia” pada hasil pencarian tersebut, terlihat bahwa tren kajian ekonomi biru di Indonesia masih sebatas konseptual (Gambar 2).

Jadi, kiranya wajar bahwa Indonesia belum mampu mengejawantahkan platform ekonomi biru pada kebijakan pembangunan termasuk secara khusus pada kebijakan riset dan inovasi.

Kajian terkait Ekonomi Biru di level nasional berdasarkan basis data Google Cendekia.dok. pribadi Kajian terkait Ekonomi Biru di level nasional berdasarkan basis data Google Cendekia.

 

Peran lembaga riset nasional dalam mengejawantahkan platform Ekonomi Biru

Sangat disayangkan, jika ekonomi biru hanya sebatas jargon semata yang kiranya memperlebar paradoks kebijakan riset dan inovasi nasional kita.

Platform Digital, Blue, Green Economy yang diusung BRIN misalnya, bisa dikatakan tidak sejalan dengan implementasinya.

Misalnya, tema riset kelautan dan maritim belum menjadi prioritas di berbagai skema pendanaan risetnya.

Organisasi Riset khusus kelautan dan maritim belum ada secara independen, bahkan pekerjaan rumah dari Konsorsium Riset Samudra terkait pusat data dan informasi kelautan nasional masih menjadi prioritas kesekian.

Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri juga bahwa beberapa program riset memang telah sejak lama mengusung tema kelautan dan maritim.

Namun, tanpa dukungan eksplisit dengan program dan anggaran, maka riset kelautan Indonesia bisa saja terus maju, tapi akan selalu tertinggal.

Baca juga: Riset Kelautan di Indonesia, Maju Tapi Tertinggal

Oleh karena itu, paling tidak ada beberapa hal yang bisa dilakukan BRIN sebagai lembaga riset dan inovasi nasional jika akan mengusung platform ekonomi biru. Di antaranya adalah:

1. Jadikan sektor kelautan dan maritim sebagai salah satu prioritas pada skema-skema riset nasional

2. Wujudkan kesempatan untuk terbentuknya Organisasi Riset khusus kelautan dan maritim

3. Berikan kesempatan untuk membentuk pusat-pusat riset atau pusat-pusat kolaborasi riset bidang kelautan dan maritim

4. Implementasikan jargon ekonomi biru dalam program-program riset dan inovasi, dari hulu ke hilir

5. Tuntaskan pekerjaan rumah yang berlarut-larut, seperti pusat data kelautan nasional (National Ocean Data Center) serta kebijakan simpan dan berbagi data/informasi antar lembaga.

Akhir kata, jika kita ingin serius mengusung platform ekonomi biru, maka kita harus serius dalam menyiapkan perangkat dasar implementasinya dalam program kerja.

 

Dr. A’an Johan Wahyudi
Peneliti Ahli Madya di Pusat Riset Oseanografi - Badan Riset dan Inovasi Nasional

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com