Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Relief Candi Jago Ungkap Gambaran Siksa Neraka, Ini Kata Arkeolog

Kompas.com - 08/08/2022, 18:31 WIB
Mela Arnani,
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Surga dan neraka, telah sering menjadi bahasan banyak orang di dunia ini. Di antara banyak agama yang ada, terdapat gambaran-gambaran mengenai kehidupan setelah mati, seperti yang ditampilkan pada relief Candi Jago.

Ada orang yang setelah mati bakal masuk surga, atau sebaliknya masuk neraka. Namun, terlepas dari apapun sebutannya, surga dan neraka terdapat di sejumlah agama, seperti Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, dan Buddha.

Dalam agama Hindu, surga dan neraka disebut sebagai "swarga dan naraka". Surga atau swarga berkenaan dengan ganjaran, sedangkan naraka atau negara menjadi sebuah hukuman.

Arkeolog Universitas Malang Dwi Cahyono menjelaskan terkait gambaran siksa neraka pada relief cerita Kunjarakarna. Bagaimana detailnya?

Gambaran siksa neraka di relief Candi Jago

Neraka digambarkan sebagai iming-iming agar orang berbuat baik, menabung pahala selama hidup di dunia. Sementara itu, surga menjadi alam impian yang menggiurkan, sehingga orang berharap bisa memperolehnya setelah kematian.

Surga bisa didapatkan jika orang berbuat sesuai dengan ajaran agama. Penggambaran yang mengerikan mengenai neraka dimaksudkan untuk menakut-nakuti, agar orang tidak berbuat dosa dan tidak berlaku menyimpang dari ajaran agamanya.

Baca juga: Sejarah Candi dan Ciri Candi di Jawa Tengah

Pada relief cerita "Kunjarakarna" yang dipahatkan pada Candi Jajaghu, lebih populer dengan sebutan Candi Jago, menggambarkan secara rinci mengenai neraka, tepatnya siksa neraka.

Gambaran siksa neraka di Candi Jago tersebut menggambarkan keberuntungan yaksa bernama Kunjarakarna, yang berkat pertaubatannya dan permohonan ampunan pada Wairocana atas segala dosa-dosanta, Kunjarakarna diberikan kesempatan oleh-Nya untuk mengobservasi neraka.

Kunjarakarna berkesempatan untuk dapat menyaksikan neraka dengan mata kepalanya sendiri, tentang bagaimana para pendosa disiksa di neraka sesuai jenis dan bentuk perbuatan dosanya saat hidup di dunia.

Hal ini pun bukan hanya menyadarkan Kunjarakarna mengenai perlunya berperilaku baik (subhakarma), melainkan siapa pun yang melihat relief cerita di Candi Jago, yang menggambarkan betapa beratnya siksa neraka diharapkan menjadi sadar untuk berkehidupan secara baik dan benar.

"Saya pun ketika hari ini bertandang ke Candi Jago, dengan seksama mencerimati relief cerita tentang siksa neraka tersebut, dengan harapan dapat berperilaku bijak, terhindar dari dosa serta siksa neraka kelak setelah mati," ujar Dwi kepada Kompas.com, Senin (8/8/2022).

Pemahat cerita dalam relief Candi Jago ini, lanjut dia, tampaknya sengaja menggambarkan kondisi neraka sebagai amat mengerikan.

Baca juga: Tiket Masuk Wisatawan Naik Jadi Rp 750.000, Begini Sejarah Berdirinya Candi Borobudur

Candi Jago Candi Jago

 

Siksa neraka digambarkan sebagai sangat berat, agar pada diri yang melihatnya tumbuh rasa takut berperilaku tidak baik (Asubha-karna), agar kelak bisa terhindar dari siksa neraka setelah dirinya mati.

"Pada kunjungan ke Candi Jago itu, saya cermati sejumlah panil relief yang menggambarkan kawah (jedi, wajan besar) yang berbentuk lembu (goh) dalam posisi ndekem dengan punggung lengkungnya digambarkan menyerupai "bulan sabit", yang pada relief ini menjadi jedi tempat merebus para pendosa," jelas Dwi.

Berdasarkan bentuknya, kawah perebus orang-orang yang berdosa itu diberi sebutan "Candragohmukha", yang dalam pewayangan Jawa dinamai "Condrodimuko".

Candragohmukha atau condrodimuko menjadi tempat para pendosa direbus dari arah bawah, sementara dari arah atas bisa kejatuhan daun atau bunga dari sebuah pohon yang berwujud aneka senjata seperti pedang, tombok mata satu ataupun mata tiga (trisula), cakra, dan lainnya.

"Penyiksaan yang demikian sebagaimana tergambar dalam pepatah Jawa, yaitu" kepalu-ketutu"," paparnya.

Baca juga: Jumlah Pengunjung yang Bisa Naik ke Candi Borobudur Dibatasi, Apa Alasannya?

Lebih lanjut, para pendosa pun harus melewati jembatan khusus untuk mengukur tingkat dosa dari seseorang.

Jembatan ini disebut "wot ogal-agil atau "titi gonggang", jembatan yang menghubungkan area-area yang dipisahkan oleh jurang terjal dan dalam, yang dari dalamnya menyembul kobaran api sangat besar.

Hal tersebut mengingatkan pada "wot sirotolnustakim", yang tajamnya bagaikan rambut dibelah tujuh. Apabila terpeleset darinya dan jatuh, maka orang tersebut akan dilalap oleh api neraka.

"Nah, ngeri sungguh. Apabila pada "wot sirotolmustakim" tingkat kesulitan untuk menitinya adalah ketajamannya (1/7 tebal rambut), pada wot ogal-agil tingkat kesulitannya adalah ke- tidakstabilannya (ogal-agil)," terang Dwi.

Sementara itu, pada titi gonggang kesulitannya terletak pada dasar pijakannya yang tidak rapat, ada celah-celah tak teratur yang bisa menyebabkan orang terperosok.

Baca juga: Pahatan Hewan di Candi Borobudur Bercerita tentang Calon Buddha

Sejumlah penari dari Kampung Cempluk Malang mempersembahkan sendratari Dwi Naga Saluan Nagari di Candi Jago, Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2016) malam. Selain sendratari, rangkaian penutupan Festival Literasi Singhasari ini juga diisi penampilan, antara lain, tari topeng bapang, instrumentalia dari Kelompok Dawai Nusantara, dan wayang tantri yang mengambil tema dari penggalan relief Candi Jago.KOMPAS/DEFRI WERDIONO Sejumlah penari dari Kampung Cempluk Malang mempersembahkan sendratari Dwi Naga Saluan Nagari di Candi Jago, Tumpang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2016) malam. Selain sendratari, rangkaian penutupan Festival Literasi Singhasari ini juga diisi penampilan, antara lain, tari topeng bapang, instrumentalia dari Kelompok Dawai Nusantara, dan wayang tantri yang mengambil tema dari penggalan relief Candi Jago.

"Pendek kata, apapun sebutannya dan wujudnya, tidaklah mudah atau sangatlah pelik untuk melintasi jembatan (wot, titi) tersebut," tambah Dwi.

Sesuai dengan konsepsi "karmapala" atau buah dari perbuatan), siksaan di neraka sesuai dengan perilaku dosa manusia di dunia.

Apabila tingkah lakunya di dunia seperti binatang, maka wujud anatominya di neraka menjadi manusia berkepala binatang (digambarkan berkepala kambing, kerbau, kuda, dan lembu).

Sedangkan para penyerobot tanah milik orang/pihak lain akan disiksa dengan menyunggi lempengan tanah, perusak rumah orang lain disiksa dengan menyunggi rumah.

Adapun orang yang otaknya kotor, bakal ditancapi paku besar tepat di ubun-ubunnya. Ada pula yang disiksa dengan kepala dipatuk burung besar, dinjak-injak makhluk berbentuk demon lembu bermuka singa, dan lainnya.

Sederhananya, siksa neraka tersebut digambarkan jauh lebih mengerikan ketimbang siksaan pada penjara Sabaneta (Venezuela), Pulau Rikers (Amerika Serikat), Bang Kwang (Thailand), Pulau Petak (Rusia) maupun di penjara USP Florence ADMAX (Amwrika Serikat).

Baca juga: Mengapa Festival Rock Dilarang di Candi Prambanan?

Relief cerita "Kunjarakarna" di Candi Jago menjadi transformasi visual dari susastra tekstual, yang berjudul "Kunjarakarnadharmmakatana".

Manusia yang menyaksikannya dapat menjadikan relief ini sebagai media ajar untuk melakukan kebaikan hidup.

"Bertobat dan memohon ampun kepada Illahi adalah tindakkan kunci untuk dapat terhindar dari siksa neraka yang berkepanjangan," pungkas Dwi.

Sejarah Candi Jago

Candi Jago terletak di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, tepatnya 22 km ke arah timur dari Kota Malang. Dikarenakan letaknya di Desa Tumpang, candi ini sering juga disebut Candi Tumpang.

Dilansir dari laman Perpustakaan Nasional, penduduk setempat menyebutnya Cungkup.
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu.

Baca juga: Tiket Masuk Wisatawan Naik Jadi Rp 750.000, Begini Sejarah Berdirinya Candi Borobudur

Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha.

Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.

Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M. Candi ini dibangun sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4, yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana.

Meskipun candi dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M menjadi salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. 

Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari.

Baca juga: Peninggalan VOC Ditemukan di Sekitar Candi Borobudur, Seperti Apa?

Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.

Saat ini, Candi Jago masih berupa reruntuhan yang belum dipugar. Keseluruhan bangunan candi berbentuk segi empat dengan luas 23 x 14 meter.

Atap candi telah hilang, sehingga tinggi bangunan aslinya tidak dapat diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa tingginya mencapai 15 m.

Bangunan candi menghadap ke barat, berdiri di atas batur setinggi sekitar 1 meter dan kaki candi yang terdiri atas 3 teras bertingkat.

Makin ke atas, teras kaki candi makin mengecil sehingga pada lantai pertama dan kedua terdapat selasar yang dapat dilewati untuk mengelilingi candi. Garba ghra atau ruang utama terletak bergeser agak ke belakang.

 Baca juga: Pohon Raksasa Ditemukan di Borneo, Tingginya Dua Kali Candi Prambanan

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com