Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kehamilan Tak Direncanakan di Indonesia Naik 40 Persen, Berisiko Tingkatkan Stunting

Kompas.com - 03/08/2022, 13:05 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Prevalensi kehamilan tidak diinginkan di Indonesia meningkat, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) ingatkan waspadai risiko stunting.

Berdasarkan data Good Mention Institute yang dikutip dalam laporan estabillity tahun 2022, isu kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia antara tahun 2015 hingga 2019 yakni sebanyak 40 persen.

Jumlah tersebut mendekati angka kehamilan yang tidak diinginkan di dunia sebesar 60 pesen.

Baca juga: Kehamilan Tak Direncanakan Naik di Tengah Pandemi, Ini 6 Imbauan BKKBN

Untuk diketahui, temuan United Nations Fund for Population Activities (UNFPA), sebanyak 121 juta kehamilan yang terjadi setiap tahun di dunia merupakan kehamilan tidak direncanakan.

Di mana angka 121 juta kasus kehamilan tak direncanakan itu merupakan 60 persen dari jumlah kehamilan dunia.

Data-data ini diungkapkan dalam acara Peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia (State of World Population/SWOP) di Bogor, Jumat (29/7/2022).

Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Bonivasius Prasetya Ichtiarto mengatakan, prevalensi kehamilan yang tidak direncanakan di Indonesia saat ini cukup tinggi, meskipun masih di bawah angka kasus global.

"Walaupun lebih sedikit, tapi 40 persen juga angka yang besar. Indonesia sendiri berdasarkan data WHO terdapat 200 juta kehamilan pertahun dimana sebanyak 75 juta kehamilan atau 30 persen diantaranya merupakan kehamilan yang tidak diinginkan,” kata Boni.

Angka prevalensi kasus kehamilan yang tidak direncakan di Indonesia ini membuat banyak pihak khawatir.

Pasalnya, salah satu risiko dari kehamilan yang tidak direncanakan adalah anak yang dilahirkan mengalami stunting.

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh akibat infeksi berulang, dan kurangnya stimulasi psikososial pada 1.000 hari pertama umur anak.

Hal ini berbahaya karena bisa menimbulkan gangguan fungsi tubuh yang permanen hingga anak dewasa.

Stunting itu sendiri akan berdampak pada aspek kesehatan dan psikologis anak tersebut.

Seperti gangguan gizi yang bisa berpengaruh terhadap perkembangan otak, fisik dan organ-organ metaboliknya, yang dapat berkembang tidak optimal.

Baca juga: Stunting pada Anak, Ketahui Dampak, Ciri, Penyebab, dan Cara Mencegahnya

 

Anak dengan stunting juga berisiko mengalami hipertensi, obesitas, stroke, diabetes, sakit jantung dan lain sebagainya.

Selain itu, stunting juga dapat berpengaruh atau menyebabkan dampak berupa masalah emosi, kemampuan anak dalam bersosialisasi, masalah motorik anak, dan lain sebagainya.

“Maka dari itu perlu dilakukan upaya mitigasi diri untuk mencegah anak-anak kita dari dampak jangka panjang dan luas dari stunting, termasuk dari peran dalam keluarga,” ujarnya.

Upaya mitigasi tersebut, kata Boni, akan menentukan kualitas generasi penerus bangsa untuk mewujudkan generasi emas Indonesia.

Baca juga: 3 Penyebab Stunting Menurut WHO

Peran pemerintah dalam menyediakan layanan berkualitas di bidang pembangunan juga menjadi penting dalam upaya menekan risiko stunting, yang secara nasional targetnya 14 persen pada 2024 mendatang.

Boni pun berharap, melalui Peluncuran Laporan Situasi Kependudukan Dunia tersebut, para pemangku kepentingan di pusat hingga daerah dan seluruh mitra kerja BKKBN maupun UNFPA Indonesia untuk saling berkolaborasi dan menjaga komitmen untuk menjamin pemenuhan hak-hak reproduksi.

“Hak-hak reproduksi dimaksud, di antaranya, khususnya bagi perempuan dan anak/remaja perempuan, dalam memutuskan dan memilih apakah akan memiliki anak, dengan siapa akan mempunyai anak, kapan akan hamil dan melahirkan, serta berapa jumlah anak yang diinginkan,” jelasnya.

Sementara itu, UNFPA Representative Indonesia Anjali Sen mengatakan, kehamilan tidak direncanakan bisa terjadi kepada siapa pun, termasuk orang yang kita kenal.

Anjali menegaskan, bahwa permasalahan ini pun seakan menjadi lumrah karena jumlahnya yang begitu banyak.

“Karena itulah krisis ini pada umumnya tidak terlihat, tapi kita tidak bisa membiarkan terus tidak terlihat. Ada kehidupan yang dipertaruhkan disini. Kita harus segera mengambil tindakan mengakhiri krisis ini,” kata Anjali.

Anjali menambahkan, kehamilan yang tidak direncanakan memaksa perempuan dan anak perempuan untuk menghadapi situasi tersebut secara terpaksa, termasuk memilih pasangan yang tidak mereka kehendaki.

Baca juga: Studi Ungkap Tren Kehamilan Tak Diinginkan dan Aborsi Global, Ini Hasilnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com