Pemahaman yang utuh dan menyeluruh terhadap sistem geotermal menjadi kunci kesuksesan dalam eksplorasi panas bumi.
Pada rangkaian pengembangan panas bumi, tahap eksplorasi memiliki risiko lebih tinggi dibandingkan fase eksploitasi.
Banyak pertanyaan yang mesti dijawab oleh para ahli ilmu kebumian (geoscientist) ketika melakukan eksplorasi panas bumi: di mana letak area pusat reservoir, berapa kedalaman reservoir, berapa temperatur yang akan dihasilkan oleh uap panas hasil pengeboran, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, eksplorasi panas bumi mutlak membutuhkan teknologi yang canggih dan mutakhir.
Konsekuensinya adalah dibutuhkan banyak ahli di bidang geosains (geologi, geokimia, dan geofisika) serta para perekayasa reservoir.
Selain faktor teknologi dan SDM, pengembangan sektor panas bumi menghadapi tantangan lain, seperti bentangan alam yang berupa kawasan hutan serta kondisi topografinya, kebutuhan pendanaan yang relatif besar, dan tentu saja yang tak kalah penting adalah kehendak politis dari para pengambil kebijakan.
Baca juga: Pembangkit Listrik Panas Bumi Picu Gempa Langka di Korea Selatan
Hingga Januari 2022, kapasitas terpasang PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) sebesar 2.276 MW atau baru mencapai 9,5% dari total potensi yang dapat dieksploitasi di seluruh Indonesia.
Namun, dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat kedua sebagai penghasil energi panas bumi terbesar di dunia. Terpaut 1,5 GW dengan Amerika Serikat di urutan pertama dan hanya selisih 0,3 GW dengan Filipina di posisi ketiga.
Jalan panjang dan berliku tidak hanya dilalui oleh para pakar eksplorasi ketika melakukan akuisisi data geosains di medan pegunungan, tetapi juga oleh para pemangku kepentingan di ranah kebijakan serta para pengembang panas bumi.
Angka 2,2 GW kapasitas terpasang PLTP saat ini dirasa jauh dari cukup. Padahal, eksplorasi panas bumi telah dimulai lebih dari satu abad yang lalu, sejak era kolonial pada 1918 di Kawah Kamojang, Jawa Barat.
Jika diambil nilai rata-rata pasca kemerdekaan saja, penambahan kapasitas pembangkit panas bumi hanya sekitar 30 MW per tahun.
Besaran itu sama dengan energi listrik yang dibangkitkan dari PLTP Karaha (Jawa Barat), satu dari enam belas PLTP yang kini beroperasi di Indonesia.
Baca juga: Terjadi Kebocoran Gas Beracun di PLTP Dieng, Ini Penyebabnya Menurut Ahli