Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/07/2022, 12:00 WIB
Zintan Prihatini,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Salah satu penyakit kulit yang masih menjadi momok di Indonesia adalah kusta.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan (Kemenkes), angka kejadian atau prevalensi kusta yang terdaftar sebesar 13.487 kasus, dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus per 24 Januari 2022.

Untuk diketahui, kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae dan bisa dialami oleh siapa saja termasuk anak-anak maupun orang lanjut usia (lansia).

Dijelaskan dokter umum di Puskesmas Kertasemaya, Kabupaten Indramayu, dr Pratama Kortizona, penyakit kusta tidak hanya menyerang kulit penderitanya saja, melainkan bisa sampai ke saraf.

Baca juga: Bercak Putih Termasuk Gejala Kusta, Kapan Perlu Waspada?

"Jadi awal gejalanya mungkin kalau diliat kayak panu, tapi bedanya menyerang saraf. Karena menyerang saraf itu dia bisa ngerasain namanya baal atau tidak terasa, atau bahkan kalau kulit lain mengeluarkan keringat, dia enggak mengeluarkan keringat," ujar Pratama saat ditemui usai kunjungan di Puskesmas Kertasemaya bersama Yayasan NLR Indonesia, Selasa (5/7/2022).

Selain itu, gejala kusta tidak gatal, dan tidak sakit sehingga kerap kali diabaikan oleh pasien. Mengutip pemberitaan Kompas.com, edisi 1 Februari 2022, sensasi kesemutan terutama pada siku hingga jari-jari tangan maupun pada area sekitar punggung kaki, juga menjadi gejala kusta yang dapat muncul.

Hal itu terjadi bila ada peradangan pada saraf tepi lengan (siku), atau tungkai bagian bawah (lutut). Gejala lainnya adalah kelumpuhan kaki atau tangan mirip stroke, walaupun penyakit ini tidak berhubungan dengan stroke.

Hal itu karena bakteri kusta menyerang saraf di tangan dan kaki, yang dapat mengakibatkan kelemahan otot, menyerupai lumpuh, sehingga sering disebut kaki semper atau tangan kiting.

Kusta yang tidak ditangani sesegera mungkin, lanjut Pratama, berisiko menyebabkan cacat tingkat dua pada pasien.

Baca juga: Kasus Kusta Masih Tinggi, Indonesia Berada di Urutan Tiga Teratas Dunia

Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa seseorang menderita kusta, harus dilakukan pemeriksaan yang menyeluruh terhadap kelainan kulit dan saraf oleh petugas kesehatan.

Dia juga menyarankan agar masyarakat yang mengalami gejala kusta, khususnya bercak di kulit yang sebelumnya belum pernah ada, untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas.

Nantinya, dokter dapat mendiagnosis penyebab munculnya bercak tersebut, apakah kusta atau bukan.

"Memang harusnya lebih cepat lebih bagus untuk deteksi dini ya, karena kalau sudah cacat kita tidak bisa mengembalikan kecacatannya. Tapi kalau misalkan baru (muncul) bercak kita obatin sembuh, dan orang yang sakit juga bisa bekerja seperti orang biasa," papar Pratama.

Masa inkubasi bakteri penyebab kusta

Lebih lanjut, Pratama mengungkapkan bahwa masa inkubasi kuman atau bakteri penyebab kusta bisa berlangsung sekitar dua hingga lima tahun lamanya. Terkadang, orang yang sudah terpapar oleh bakteri tersebut bahkan tidak menyadari dirinya sudah terinfeksi.

"Jadi sebenarnya kusta ini penyakitnya bukan kayak penyakit, contohnya Covid atau penyakit batuk-pilek yang cepat terjadinya, dari mulai kena virus atau bakteri dia cepet," tutur Pratama.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com