Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Kusta Masih Tinggi, Indonesia Berada di Urutan Tiga Teratas Dunia

Kompas.com - 26/06/2022, 18:03 WIB
Zintan Prihatini,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penyakit kusta masih menjadi masalah kesehatan yang sangat kompleks, dan perlu diatasi segera.

Terlebih, saat ini berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2021, Indonesia menjadi negara ketiga dengan kasus kusta terbanyak di dunia, setelah India dan Brazil, 

"Jadi tiga negara, India, Brazil, dan Indonesia itu menyumbang sekitar 72,5 persen dari kasus yang terdaftar. Sedangkan menyumbang kasus baru sebesar 74 persen," ujar Technical Advisor NLR Indonesia, dr Christina Widaningrum, dalam webinar, Jumat (25/6/2022).

Baca juga: Ini Penyebab Kusta dan Gejala yang Harus Diwaspadai Sebelum Cacat Permanen

Tak hanya itu, masih terdapat enam provinsi belum mencapai eliminasi kusta dari total 34 provinsi yang ada.

Dijelaskan Christina, eliminasi kusta diartikan sebagai angka kesakitan kurang dari 1 per 10.000 penduduk, yang dianggap tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.

Adapun enam provinsi tersebut di antaranya Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Selain itu, ada 92 kabupaten/kota yang belum mencapai eliminasi di 17 provinsi.

Ia mengatakan bahwa kasus baru kusta di Indonesia tahun 2021 mencapai 10.976 pasien, kasus terdaftar 12.230, dan angka cacat tingkat 2 mencapai 2,47 per 1.000.000 penduduk.

"Proporsi kasus baru tanpa cacat 83 persen, jadi masih ada pasien kusta sekitar 17 persen yang ditemukan dalam keadaan cacat. Proporsi kasus baru anak juga lebih dari 10 persen, artinya penularan di masyarakat masih tinggi, harusnya kurang dari 5 persen. Jadi masih anak-anak sudah ketularan kusta," terang Christina.

Di sisi lain, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menargetkan eliminasi kusta pada 2024 mendatang.

Meski begitu, upaya eliminasi kusta di Tanah Air masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satunya ialah stigma maupun diskriminasi terhadap keluarga dan penderita kusta.

Akibat dari stigma ini, pasien kusta tidak dapat melanjutkan pendidikan, sulit mendapat pekerjaan, bahkan dikucilkan. Sehingga pasien dengan penyakit kusta makin sulit dideteksi ataupun diobati.

"Masih banyak kejadian ada anak sekolah yang harus keluar karena ada kusta, guru tidak boleh mengajar lagi. Seharusnya orang yang pernah mengalami kusta dirangkul dan diberi kesempatan yang sama," ungkapnya.

Baca juga: Hari Kusta Sedunia: Konsepsi Populer Kusta dan Sejarahnya di Dunia

 

Dokter Christina menyampaikan, pengobatan kusta dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, termasuk puskesmas. Adapun biaya pengobatannya gratis, dan akan disokong hingga pasien sembuh.

Oleh sebab itu, masyarakat diminta untuk berobat sedini mungkin di puskesmas agar tidak menyebabkan keparahan penyakit.

"Situasi di masyarakat, mereka masih mendengar mitos banyak yang masih mengatakan bahwa kusta penyakit kutukan, keturunan, guna-guna," jelas Christina.

"Faktanya penyakit kusta menular, menahun, penyebabnya kuman. Kumannya Mycobacterium leprae, satu keluarga dengan TBC tapi kusta tidak seganas TBC dan bisa sembuh tentunya," lanjutnya lagi.

Baca juga: Pertama Kali, Kasus Kusta Ditemukan pada Simpanse Liar

Upaya mengurangi penularan kusta

Mengutip laman Kemenkes, Kamis (3/2/2022) gejala kusta dapat berupa bercak putih dan merah, tidak ada rasa gatal dan sakit.

Maka tak jarang, penderita kusta tidak menyadarinya. Padahal, penyakit ini berpotensi menimbulkan kecacatan apabila tidak segera diobati.

Menurut Christina ada beberapa poin untuk mencapai zero transmission atau penularan kusta di Indonesia, di antaranya:

  • Peningkatan kapasitas petugas: untuk memonitor perkembangan kusta dari mulai kabupaten, provinsi, pusat, dan puskesmas.
  • Desa sahabat kusta: mengubah perilaku masyarakat yang negatif terhadap kusta menjadi berperilaku positif. Jadi, tidak ada lagi pasien yang dikucilkan atau disingkirkan.
  • Pemberian obat pencegahan kusta (kemoprofilaksis): untuk meminimalkan penularan kusta.
  • Penanggulangan kusta di perkotaan dan daerah terpencil: merangkul dokter praktek mandiri untuk membantu kalau ada pasien yang memiliki ruam, agar bisa merujuk ke puskesmas. Melakukan skirining di desa terpencil, sekaligus adanya pemantauan konsumsi obat masyarakat.

Dia menyebut, mereka yang berkontak serumah, sembilan kali lebih tinggi tertular kusta. Kemudian, tetangga yang tinggal dekat enam kali lebih tinggi, dan kontak sosial empat kali lebih tinggi bila berkontak dengan pasien kusta yang belum diobati.

"Jadi kalau yang sudah dilakukan kalau ketemu satu kasus, tidak boleh lebih dari sebulan harus diperiksa kontaknya. Setelah diperiksa, kalau memang memenuhi syarat diberikan satu dosis rifampicin untuk mencegah terjadinya kusta pada mereka yang berisiko tertular," tuturnya.

Kontak sosial, lanjut Christina, dapat diidentifikasi minimal 20 jam bila berdekatan dengan pasien kusta yang belum berobat. Misalnya, teman sekelas anak sekolah yang terinfeksi kusta harus ditelusuri dan diperiksa bila telah berkontak langsung.

Hal yang sama juga brelaku pada mereka yang bekerja, di mana teman satu kantor perlu menjalani pemeriksaan.

Baca juga: 4 Mitos Kusta yang Salah Kaprah, Jangan Lagi Dipercaya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com