KOMPAS.com - Belakangan ini, penyakit cacar monyet atau monkeypox mendapatkan sorotan dunia dikarenakan infeksinya telah ditemukan di sejumlah negara di dunia.
Penyakit cacar mungkin tidak asing lagi di tengah masyarakat Indonesia. Tapi, penyakit cacar dengan cacar monyet bukanlah penyakit yang sama.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) menuliskan, bahwa pada manusia, gejala cacar monyet memang mirip, tapi lebih ringan dibandingkan gejala cacar.
Perbedaan utama antara gejala cacar dan cacar monyet adalah bahwa cacar monyet menyebabkan kelenjar getah bening membengkak (limfadenopati), sedangkan cacar tidak.
Penyakit cacar monyet disebabkan oleh infeksi virus monkeypox, yang termasuk dalam genus Orthopoxvirus dalam famili Poxviridae.
Genus Orthopoxvirus juga termasuk virus variola (penyebab cacar), virus vaccinia (digunakan dalam vaksin cacar), dan virus cacar sapi.
Baca juga: Kemenkes Rilis 5 Klasifikasi Kasus Cacar Monyet, Apa Saja?
Mayoritas orang yang terinfeksi virus cacar monyet atau monkeypox memiliki perjalanan penyakit ringan, yang dapat sembuh dengan sendirinya tanpa adanya terapi khusus.
Namun, prognosis cacar monyet tergantung pada beberapa faktor seperti status vaksinasi sebelumnya, status kesehatan awal, penyakit penyerta, dan komorbiditas.
Beberapa orang yang harus dipertimbangkan mendapatkan perawatan, termasuk orang dengan penyakit parah seperti penyakit hemoragik, lesi konfluen, sepsis, ensefalitis, atau kondisi lain yang memerlukan rawat inap.
Selain itu, orang yang mungkin berisiko tinggi terkena penyakit parah seperti:
Orang dengan infeksi menyimpang virus monkeypox yang mencakup implantasi yang tidak sengaja di mata, mulut, atau area anatomi lainnya, di mana infeksi virus monkeypox mungkin menjadi bahaya khusus, juga termasuk dipertimbangkan untuk mendapatkan perawatan.
Baca juga: Cacar Monyet Kini Ditemukan di 23 Negara, Ini Panduan Pencegahan WHO