KOMPAS.com - Monkeypox atau cacar monyet telah diidentifikasi di 16 negara non-endemik. Meski begitu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut risiko penyebaran penyakit cacar monyet pada populasi yang lebih luas masih rendah.
Berdasarkan laporan, ada lebih dari 100 kasus infeksi virus cacar monyet yang dikonfirmasi di Eropa, Amerika dan Australia. WHO pun memperkirakan akan ada peningkatan kasus cacar monyet di dunia.
Menurut Ahli Epidemiologi WHO, Maria Van Kerkhove, kondisi tersebut masih bisa dikendalikan.
Sebab, cacar monyet tidak mudah menular dari manusia ke manusia karena membutuhkan kontak fisik dekat. Risiko penyebaran cacar monyet, kata dia, lebih rendah dibandingkan Covid-19.
"Ini adalah situasi yang dapat dikendalikan. Kami ingin menghentikan penularan antarmanusia. Hal ini dapat kita lakukan di negara-negara yang tidak termasuk endemik penyakit," ujar Van Kerkhove dilansir dari BBC, Selasa (24/5/2022).
Baca juga: Cacar Monyet Ditemukan di Belasan Negara, WHO Lakukan Penyelidikan Epidemiologi
Cacar monyet adalah penyakit yang disebabkan infeksi virus monkeypox, yakni bagian dari genus Orthopoxvirus. Wabah cacar monyet ini termasuk penyakit endemik di negara-negara Afrika Tengah dan Afrika Barat.
"Penularan terjadi dari kontak kulit ke kulit, sebagian besar orang yang telah diidentifikasi cenderung mengalami penyakit ringan," terang Van Kerkhove.
Apabila terpapar, seseorang dapat menunjukkan beberapa gejala termasuk demam, nyeri kepala, muncul ruam atau bintik-bintik yang berubah menjadi lesi.
Biasanya gejala cacar monyet cenderung ringan, dan dapat hilang dalam rentang dua hingga empat pekan.
Sejauh ini, para ahli menegaskan belum ada bukti bahwa virus cacar monyet atau monkeypox yang telah menyebar di 16 negara tersebut telah bermutasi.
Baca juga: WHO Laporkan Cacar Monyet Sudah Teridentifikasi di 12 Negara, Mana Saja?