Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mentan Klaim Food Estate Berhasil 100 Persen, Walhi: Stop Abaikan Petani dan Lingkungan Hidup

Kompas.com - 17/04/2022, 15:03 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) meminta pemerintah memberhentikan program food estate yang telah diklaim berhasil oleh Menteri Pertanian.

Tanggapan Walhi ini menyusul atas klaim yang telah disampaikan oleh Menteri Pertanian pada rapat dengan Komisi IV DPR RI pada Senin (11/4/2022).

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo saat itu menyebutkan, bahwa program food estate di Indonesia telah berhasil 100 persen di wilayah pertama.

“Tiga tempat baru untuk food estate secara keseluruhan 100 persen berhasil dengan baik,” ucap Syahrul.

Baca juga: Indonesia Didorong Jadi Lumbung Pangan Dunia Lewat Studi Pertanian

Ketiga wilayah yang dimaksudkan oleh Syahrul adalah Kalimantan Tengah (30.000 Hektar lahan intensifikasi), Sumatera Utara (Humbang hasundutan 15000 Hektar untuk pembukaan lahan hutan), dan Nusa Tenggara Timur (sudah tersedia 5000 Hektar/Ha).

Tanggapan Walhi menyikapi klaim Menteri Pertanian

1. Walhi Kalimantan Tengah

Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Bayu Herinata mengatakan untuk food estate komoditas singkong dari luasan yang menjadi Area of Interest (AoI) tahap pertama seluas 32.000 hektar tersebut, telah berdampak pada kerusakan lingkungan.

Luasan kawasan food estate di Kalimantan Tengah ini, menurut Walhi telah membuka kawasan hutan seluas kurang lebih 600 hektar.

Kerusakan lingkungan yang terjadi utamanya adalah banjir yang melanda desa-desa terdekat dari lokasi yang telah dibuka.

Sedangkan, untuk food estate komoditas padi, dari luasan 30.000 hektar lahan untuk intensifikasi yang dialokasikan oleh Kementerian Pertanian yaitu kembali membuka lahan-lahan gambut dan kanal-kanal yang berada di ekosistem gambut fungsi lindung.

Salah satu lokasi lahan untuk intensifikasi ini yaitu areal blok A Ex-PLG yang berada di Kecamatan Dadahup, Kabupaten Kapuas.

Hal ini dianggap sedikit kontras karena lokasi yang sama juga merupakan areal prioritas gambut yang dilakukan oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) sebelumnya.

“Kegiatan pembukaan lahan gambut dan kanal-kanal untuk pengairan lahan pertanian dinilai kontraproduktif dengan upaya restorasi gambut dengan membangun infrastruktur pembasahan gambut berupa sekat kanal dan penanaman kembali lahan,” ujarnya.

Pada kasus di Kalimantan Tengah, Walhi menilai bahwa ekosistem gambut dan Kawasan hutan diabaikan untuk monokultus skala luas.

Dalam paparan Kementerian Pertahanan, di paparan awal Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), setidaknya 486.164 hektar lahan awal di Kalimantan Tengah berasal dari Kawasan Hutan (Lahan AoI, Blok Katingan, Kapuas, dan Blok Gunung Mas).

Merujuk pada sejarah food estate, dari Proyek Lahan Gambut (PLG), MIFEE, hingga saat ini tidak pernah berdampak signifikan pada ketersediaan pangan, pada akhirnya penyediaan pangan yang teruji adalah bersandar pada produksi petani berbasis keluarga, serta memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Untuk itu, Walhi meminta agar pemerintah harus menghentikan upaya perluasan atau ekstensifikasi lahan food estate di kawasan gambut dan kawasan hutan di Kalimantan Tengah.

Selain itu, perlu juga untuk melakukan evaluasi terhadap kegiatan intensifikasi food estate yang telah dilakukan, karena dampak kerusakan lingkungan dan kerugian ekonomi sosial yang lebih besar akan diterima oleh masyarakat jika program ini dipaksakan untuk terus dilaksanakan.

Baca juga: Perubahan Iklim Ancam Ketahanan Pangan Indonesia, Apa Dampaknya?

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com