Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Dokter Wabah di Eropa Memakai Topeng Burung?

Kompas.com - 26/03/2022, 21:00 WIB
Lulu Lukyani

Penulis

KOMPAS.com - Beberapa wabah penyakit pernah melanda dunia, menyebar dari satu wilayah ke wilayah lain.

Wabah tersebut memakan banyak korban, bahkan hingga ratusan juta orang dalam pandemi global yang tak terbendung.

Di Eropa abad ke-17, para dokter yang mengobati pasien mengenakan kostum yang sejak bernuansa menyeramkan. 

Para dokter wabah tersebut menutupi tubuh mereka, dari kepala hingga ujung kaki, dan mengenakan topeng dengan paruh panjang seperti burung. 

Kostum dokter wabah di Eropa

Dilansir dari National Geographic, alasan para dokter wabah memakai topeng burung dengan paruh panjang adalah kesalahpahaman tentang sifat penyakit berbahaya itu.

Baca juga: Mengenal Wabah Tertawa, Pernah Terjadi di Tanzania

Selama periode wabah pes, pandemi berulang di Eropa selama berabad-abad, kota-kota yang dilanda penyakit itu menyewa dokter wabah yang mempraktekkan pengobatan bagi penduduk kaya dan miskin. 

Para dokter ini meresepkan ramuan pelindung dan penangkal wabah, surat wasiat, serta melakukan otopsi; beberapa melakukannya sambil mengenakan topeng burung.

Kostum tersebut diberikan kepada Charles de Lorme, seorang dokter yang melayani kebutuhan medis banyak bangsawan Eropa selama abad ke-17, termasuk Raja Louis XIII dan Gaston d'Orléans, putra Marie de Médici. 

de Lorme menggambarkan, pakaian dokter yang ia kenakan mencakup mantel yang dilapisi lilin beraroma, celana yang terhubung ke sepatu bot, kemeja yang diselipkan, topi, serta sarung tangan yang terbuat dari kulit kambing. 

Dokter wabah juga membawa tongkat yang memungkinkan mereka untuk menusuk atau menangkis korban.

Baca juga: Wabah Tertawa Tanzania, Kondisi Apa Itu?

Perlengkapan yang dipakai di kepala dokter wabah pun sangat tidak biasa.

Dokter wabah mengenakan kacamata, dan topeng dengan hidung panjang, berbentuk seperti paruh, yang diisi parfum dengan hanya dua lubang, satu di setiap sisi dekat lubang hidung, tetapi cukup untuk bernapas.

Kenapa dokter wabah di Eropa memakai masker burung?

Kostum yang dipakai para dokter wabah di Eropa dimaksudkan untuk melindungi dokter dari racun. 

Sebelumnya, dokter percaya bahwa wabah menyebar melalui udara beracun yang dapat membuat ketidakseimbangan cairan tubuh.

Parfum dengan aroma manis dan menyengat dianggap mampu mengasapi area yang dilanda wabah dan melindungi orang yang menciumnya.

Baca juga: Ilmuwan Jelaskan Wabah Zombi dari Sudut Pandang Sains

Dokter wabah mengisi topeng burung mereka dengan theriac, yakni senyawa yang terdiri dari 55 herbal dan komponen lain seperti bubuk daging ular beludak, kayu manis, mur, dan madu. 

De Lorme berpikir bahwa bentuk topeng burung akan memberi cukup waktu bagi udara untuk dilindungi oleh tanaman pelindung, sebelum menyerang lubang hidung dan paru-paru para dokter.

Padahal, wabah pes saat itu disebabkan oleh Yersinia pestis, bakteri yang ditularkan dari hewan ke manusia dan melalui gigitan kutu, kontak dengan cairan atau jaringan yang terkontaminasi, dan menghirup tetesan infeksi dari bersin atau batuk orang dengan pneumonia.

Pada akhirnya, pakaian para dokter dan metodenya tidak membuat banyak perbedaan. 

”Sayangnya, strategi terapeutik para dokter wabah modern awal tidak banyak membantu memperpanjang hidup, meringankan penderitaan, atau memberikan efek penyembuhan," kata sejarawan Frank M. Snowden.

Dokter wabah mungkin dikenali, tetapi sampai munculnya teori kuman penyebab penyakit dan antibiotik modern, kostum dokter wabah tidak memberikan perlindungan nyata terhadap penyakit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com