Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komunitas Bisa Berperan Aktif dalam Aksi Iklim

Kompas.com - 09/12/2021, 19:32 WIB
Yunanto Wiji Utomo,
Shierine Wangsa Wibawa

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Hasil perundingan untuk memerangi dampak perubahan iklim di COP26 bisa jadi tak memuaskan banyak pihak. Namun, di luar perdebatan soal energi, pendanaan dan perubahan lahan, satu hal yang perlu digarisbawahi dari hasil pertemuan di Glasgow pada 31 Oktober - 13 November 2021 itu adalah perlunya kolaborasi.

Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi menuturkan, salah satu bentuk kolaborasi adalah antara negara maju dan berkembang. Negara maju diharapkan membantu pendanaan, pembangunan kapasitas dan alih teknologi, baik untuk adaptasi maupun mitigasi.

Namun, ia juga mengatakan bahwa kolaborasi juga dapat dilakukan antara masyarakat dengan pemerintah. Glasgow Climate Pact, demikian hasil perundingan Glasgow disebut, mensyaratkan keterlibatan komunitas lokal, masyarakat adat, serta pemuda dalam aksi memerangi perubahan iklim.

"Salah satu keputusan kemarin adalah mendesak setiap negara memperkuat Glasgow Work Program, terutama terkait Action and Climate Empowerment. Di sini, setiap pemerintah harus memperhatikan komunitas, masyarakat adat, serta punya wawasan gender," katanya dalam Sosialisasi Hasil COP26 di Jakarta, Senin (6/12/2021).

Baca juga: Hasil COP26: Mengecewakan, Kurang Ambisius, tetapi Lumayan Ada Kemajuan

Dalam acara di Paviliun Indonesia di sela COP26, Laksmi mengungkapkan bahwa salah satu upaya Indonesia untuk melibatkan komunitas dalam aksi iklim adalah melalui Program Kampung Iklim (ProKlim). Pihaknya menargetkan, pada tahun 2024, Indonesia punya 20.000 kampung iklim.

Dalam skema ProKlim, KLHK berencana menyediakan pembelajaran e-learning tentang Program Kampung Iklim dan instrumen penghitungan gas rumah kaca SPECTRUM. Lewat kerja sama dengan swasta, komunitas bisa mendapatkan dukungan finansial, sarana dan prasarana maupun peningkatan kapasitas untuk mengembangkan inisiatifnya.

Menurut Laksmi, salah satu tantangan dalam aksi iklim adalah besarnya kesenjangan antara kesepakatan perundingan dengan implementasinya. ProKlim diharapkan bisa menjadi salah satu jalan untuk menutup kesenjangan tersebut sehingga ambisi mencegah kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius bisa tercapai.

Ia menambahkan, untuk implementasi, Indonesia memang masih membutuhkan pendanaan asing.

"Kita juga pasti menyelenggarakan mandat UUD 1945, tapi bukan berarti kita hanya menggantungkan diri pada komitmen 100 miliar dollar AS per tahun yang dijanjikan negara maju," ujarnya.

Baca juga: COP26, Secercah Harapan di Babak Akhir Perundingan

Dalam Glasgow Climate Pact, pentingnya peran komunitas termuat setidaknya dalam pasal terkait kolaborasi yang salah satunya menyatakan "mengakui" pentingnya kolaborasi aksi iklim, termasuk pengembangan teknologi di semua sektor dan wilayah.

Selain itu dinyatakan juga pengakuan pentingnya peran pemangku kebijakan di luar parties, seperti masyarakat sipil, anak muda, masyarakat adat, perempuan dan pemangku kepentingan lainnya. Dukungan finansial, pengembangan kapasitas dan transfer teknologi diperlukan sehingga semua kalangan bisa terlibat dalam aksi iklim.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com