Oleh: Ahmad Gamal, S.Ars., M.Si., MUP, Ph.D
PERTUMBUHAN penduduk yang tinggi, di banyak kota dan kabupaten di Indonesia, menjadi salah satu penyebab munculnya isu keterbatasan lahan.
Lebih jauh, permasalahan ini kemudian berdampak negatif pada tingkat kesejahteraan masyarakat dan kondisi lingkungan hidup. Gangguan terhadap lingkungan yang dimaksud antara lain: pengurangan area resapan air, bencana likuifaksi tanah, bencana banjir dan longsor, serta pencemaran udara.
Tingkat pertumbuhan penduduk bersifat paralel dengan tingkat kebutuhan lahan sementara luasan lahan adalah terbatas. Beragam bangunan tempat tinggal beragam bentuk dan ukuran: rumah tapak dan apartemen, bermunculan untuk mengakomodir kebutuhan tempat tinggal pada lahan terbatas tersebut.
Sering kali pembangunan-pembangunan ini luput dari pengawasan pemerintah sebagaimana terlihat pada banyaknya jumlah dokumen Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan atau skema yang diijinkan oleh pemerintah.
Baca juga: Teknologi Lidar Bantu Arkeolog Ungkap Misteri Percandian Muarajambi
Perbedaan antara data pada dokumen IMB dan kenyataan fisik terbangun di lapangan menyebabkan tidak optimalnya perhitungan dan pemasukan pendapatan pajak daerah. Hal ini kemudian menghambat pemerintah daerah dalam memberikan layanan bagi publik.
Ketidaksesuaian antara data dokumen dengan fisik dilapangan sebenarnya telah menjadi permasalahan dalam dunia perpajakan di Indonesia sejak lama, karena penyesuaian tersebut dilakukan secara ad hoc, di mana petugas melakukan survei ke lapangan.
Cara ini kurang efektif karena memakan biaya yang besar baik dari segi sumber daya manusia maupun biaya operasional.
Selain terkait perhitungan pajak bumi dan bangunan, pertumbuhan pembangunan tidak ter-regulasi juga perlu diperhatikan dampaknya terhadap kondisi lingkungan.
Pemerintah telah menerapkan peraturan terkait tata guna lahan, namun hal ini sering lalai ditegakkan dalam proses pembangunan di lapangan. Pergantian fungsi lahan yang tidak dikelola dengan baik meningkatkan risiko bencana alam dan polusi lingkungan. Dengan demikian, kebutuhan untuk mengendalikan pertumbuhan tersebut sudah dangat mendesak.
Salah satu solusinya adalah dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam wahana big data nasional. Big data dapat didefinisikan sebagai kumpulan proses yang berisikan volume data dalam skala besar yang digunakan untuk membantu kegiatan bisnis.
Sejak akhir tahun 2016, Smart City Universitas Indonesia (SCUI) bersama dengan mitra PT Pangripta Geomatika Indonesia telah mencoba untuk memanfaatkan skema tersebut dan membangun Smart Land Surveillance System (SLSS).
SLSS adalah sebuah sistem terintegrasi penginderaan jarak jauh atau inderaja LiDAR (Light Detection and Ranging) yang diintegrasikan dengan data perizinan eksisting milik pemerintah. Integrasi data tersebut kemudian menghasilkan sebuah mekanisme yang dapat digunakan untuk mengawasi pertumbuhan kota, estimasi area terbangun, perhitungan pajak, peningkatan pendapatan pemerintah lokal, dan perlindungan bagi lahan pertanian.
Baca juga: Menristek Dukung Lapan Hadirkan Penginderaan Jauh Berbasis Digital, Ini Tujuannya
Teknologi inderaja LiDAR bekerja dengan menembakkan laser di darat atau udara untuk mendapatkan data terkait bangunan dan tanah di permukaan bumi. Dalam penggunaanya, LiDAR menembakkan sensor dan menerima pantulan sensor tersebut yang telah menyentuh obyek yang disasar.
Hasil yang diperoleh dapat dihitung dari perbedaan waktu saat cahaya dipancarkan dan ditangkap kembali oleh sensor, sudut, dan lokasi permukaan bumi. LiDAR juga memiliki keunggulan dimana teknologi ini dapat digunakan saat malam hari tanpa matahari, namun kelemahannya tidak dapat digunakan pada kondisi berawan atau hujan.
Data LiDAR menghasilkan berupa data tiga dimensi yang mengandung informasi terkait koordinat dan juga tinggi dari sebuah wilayah tertentu.