Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyebab dan Dampak Gempa Swarm yang Sudah 35 Kali Guncang Salatiga dan Sekitarnya

Kompas.com - 25/10/2021, 17:45 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Gempa swarm yang mengguncang wilayah Salatiga dan sekitarnya sudah terjadi sejak hari Sabtu (23/10/2021) pukul 00.32 WIB. 

Kepala Mitigasi Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono MSi mengatakan, episenter gempa bumi ini terletak pada koordinat 7.296 LS dan 110.38568 BT.

Lokasi tepatnya berada di darat pada jarak 13 kilometer arah Barat Laut Kota Salatiga, Jawa Tengah pada kedalaman 6 kilometer.

Baca juga: Gempa Terkini: Ambarawa Jawa Tengah Kembali Diguncang Gempa Swarm ke-35 Kalinya

Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalaman hiposenternya, gempa yang terjadi merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas sesar lokal.

"Diduga kuat sumber gempa sesar aktif yang menjadi pemicu gempa ini adalah Sesar Merbabu Merapi Telomoyo," jelas Daryono dalam pemberitaan Kompas.com, Sabtu (23/10/2021).

Gempa pendahuluan tersebut telah diikuti 7 kali aftershock atau gempa susulan hingga pukul 06.00 WIB di hari yang sama. 

Kemudian, guncangan gempa susulan berlanjut hingga kemarin Minggu (24/10/2021) sampai siang ini Senin (25/10/2021) untuk yang ke 35 kalinya.

Penyebab gempa swarm di Salatiga dan sekitarnya

Daryono menjelaskan, gempa swarm umumnya dicirikan dengan serangkaian aktivitas gempa bermagnitudo kecil dengan frekuensi kejadian yang sangat tinggi.

Bahkan, gempa tersebut berlangsung dalam waktu relatif lama di suatu kawasan, namun tidak diserta gempa kuat sebagai gempa utama atau mainshock.

Gempa yang telah terjadi hingga 35 kali hingga Senin, 25 Oktober 2021 di Salatiga dan sekitarnya ini diduga terjadi karena swarm yang berkaitan dengan fenomena tektonik.

"Terkait fenomena swarm yang mengguncang Banyubiru, Ambarawa, Salatiga dan sekitarnya ada dugaan jenis swarm tersebut berkaitan dengan fenomena tektonik (tectonic swarm)," ujarnya.

Daryono menjelaskan, dugaan jenis swarm akibat fenomena tektonik ini didasarkan karena zona ini cukup kompleks berdekatan dengan jalur Sesar Merapi Merbabu, Sesar Rawapening, dan Sesar Ungaran.

Dengan tektonik swarm ini tampak dari bentuk gelombang geser (shear wave) yang sangat jelas dan nyata menggambarkan adanya pergeseran 2 blok batuan secara tiba-tiba.

Tectonic swarm umumnya terjadi karena adanya bagian sesar yang mengalami rayapan (creeping), sehingga mengalami deformasi aseismik atau bagian (segmen) sesar yang tidak terkunci (locked) bergerak perlahan seperti rayapan (creep).

"Fenomena gempa swarm di Banyubiru ini tentu sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut dan menjadi tantangan bagi para ahli kebumian kita untuk mengungkap penyebab sesungguhnya," jelasnya.

Baca juga: Gempa Hari Ini: Catatan Sejarah Gempa Merusak di Sekitar Salatiga

Ilustrasi kekuatan gempa bumiShutterstock Ilustrasi kekuatan gempa bumi

Dampak gempa swarm 

Dampak gempa swarm jika kekuatannya cukup signifikan dan guncangannya sering dirasakan dapat meresahkan masyarakat.

Namun, masyarakat diimbau untuk tidak panik dan tetap waspada.

Menurut Daryono, terjadinya fenomena gempa swarm ini setidaknya menjadi pembelajaran tersendiri untuk masyarakat, karena aktivitas swarm memang jarang terjadi.

"Namun demikian, jika kita belajar dari berbagai kasus gempa swarm di berbagai wilayah, sebenarnya tidak membahayakan, jika bangunan rumah di zona swarm tersebut memiliki struktur yang kuat," kata dia.

Akan tetapi, jika struktur bangunan lemah maka dapat menyebabkan kerusakan bangunan rumah seperti yang saat ini sudah terjadi pada beberapa rumah warga di Banyubiru dan Ambarawa.

Baca juga: Bagaimana Cara Kerja Alat Pencatat Gempa?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com