KOMPAS.com - Uni Eropa mendorong negara Indonesia untuk segera mentransformasikan energi fosil menjadi energi hijau. Namun untuk merealisasikannya, Indonesia masih memiliki tantangan tersendiri dalam melaksanakan transisi energi hijau.
Duta Besar Denmark untuk Indonesia, Malaysia, Timor Leste, Papua New Guinea dan ASEAN Lars Bo Larsen mengatakan, penggunaan energi hijau akan memberikan banyak keuntungan untuk masyarakat Indonesia.
Terutama dalam hal efisiensi harga dan juga pengurangan emisi, energi hijau akan berdampak pada banyak sektor, termasuk kesehatan dan kesejahteraan masyarakatnya.
"Meski dibutuhkan strategi dalam mendesain transisi energi sehingga memberikan keuntungan bagi semua orang," kata Larsen dalam diskusi Pekan Diplomasi Iklim 2021 hari kedua dengan tema "From Black to Green Energy Transition in Indonesia and EU, Selasa (12/10/2021).
Baca juga: Prinsip Kerja Sel Surya, Alternatif Energi yang Ramah Lingkungan
Menurut dia, peralihan atau transisi dari energi fosil seperti batu bara ke energi hijau tidak pernah tidak mungkin, jika dilakukan dengan kolaborasi dan komitmen yang tinggi oleh setiap pihak-pihak terkait, terutama pemerintah.
Sebab, transisi ke energi hijau ini telah dibuktikan oleh negaranya.
Larsen dalam pemaparannya mengungkapkan bahwa hingga sekitar 15 tahun lalu, batu bara bukan hanya menjadi tulang punggung energi Denmark, tetapi juga menjadi sumber energi dominan di Denmark.
"Jika dahulu penggunaan energi fosil mencapai 99 persen, kini telah jauh berkurang menjadi 9 persen," jelasnya.
Menambahkan apa yang disampaikan Larsen, Danish Energy Agency Adbvisor, Alex Newcombe turut menceritkan pengalaman negara Denmark dalam menurunkan emisi.
"Emisi di Denmark menurun secara signifikan sejak 1999 hingga sekarang, dan penggunaan batu bara dan minyak bumi kini mendekati target yakni 77 persen," kata Alex.
Baca juga: Krisis Iklim, Apakah Energi Air Punya Masa Depan?
Dengan demikian, Alex yakin bahwa seharusnya negara Indonesia tidak membutuhkan waktu selama itu, lantaran sudah banyak sumber yang bisa dipelajari sekarang ini, baik dari pengalaman negara Denmark maupun negara lainnya.
"Aspek kebijakan menjadi kunci untuk membantu mengurangi risiko dalam mengakselerasi transisi energi," tegasnya.
Sementara itu, Research Coordinator Energy & Climate Policy at Oko Institute, Former Member of The German Coal Commission, Dr Felix Mattherst menyatakan, yang menjadikan transisi energi kompleks adalah masalah buruh.
“Di Jerman, ada 26.500 pekerja tambang dan pembangkit listrik tenaga batu bara, namun mereka terkonsentrasi di beberapa wilayah (miskin). Untuk mengatasinya, Jerman menciptakan kerangka kompensasi kehilangan pekerjaan untuk mereka," ujarnya.
"Adalah tugas utama untuk membangun kemakmuran daerah dengan menciptakan kondisi yang menarik bagi lapangan kerja baru dan bagi yang lebih muda,” jelas Matthest.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.