Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU)

Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama (LFNU) adalah organ departementasi Nahdlatul Ulama yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan–kebijakan Nahdlatul Ulama dalam ranah falakiyah, yaitu ilmu astronomi yang ditujukan bagi pelaksanaan aspek–aspek ibadah Umat Islam. LFNU ada di tingkat pusat (PBNU), propinsi (PWNU) hingga kabupaten / kota (PCNU). Lembaga Falakiyah PBNU berkedudukan di Gedung PBNU lantai 4, Jl. Kramat Raya no. 164 Jakarta Pusat.

Fajar Semu, Fajar Nyata, dan Waktu Subuh Indonesia (2)

Kompas.com - 13/10/2021, 19:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: KH Salam Nawawi, KH Djawahir Fahrurrazi, KH Abdul Muid Zahid, KH Muhyidin Hasan, M. Basthoni, Ismail Fahmi, Eka Puspita Arumaningtyas, Nihayatur Rohmah, Imam Qustholaani, Rukman Nugraha, Suaidi Ahadi, KH Ahmad Yazid Fattah, KH Shofiyulloh, Djamhur Effendi, Khafid, Hendro Setyanto, Ahmad Junaidi, KH Imron Ismail, Mutoha Arkanuddin, Syifaul Anam, dan Muh. Ma’rufin Sudibyo

Pada bagian pertama, kita telah mengenal ragam pendapat besarnya sudut depresi Matahari (SDM) bagi penanda awal waktu Subuh, yaitu bervariasi mulai dari 20º, 18º, 15º dan 12º terhadap kaki langit timur.

Variasi nilai ini merupakan produk beragamnya interpretasi fikih terhadap teks sabda Rasulullah SAW terkait cahaya fajar–nyata.

Diskursus umumnya berputar pada dua pertanyaan, yakni apakah cahaya fajar–nyata adalah segaris tipis cahaya yang telah muncul tepat di kaki langit timur dan membentang horisontal?

Atau, apakah cahaya fajar–nyata justru merupakan cahaya fajar yang telah melaburi langit timur demikian rupa, sehingga cukup terang dan kita mulai bisa mengidentifikasi benda–benda yang ada di sekeliling kita?

Baca juga: Fajar Semu, Fajar Nyata, dan Waktu Subuh Indonesia (1)

Ragam pendapat terkait nilai SDM kerap dikaitkan dengan faktor geografis. Kian mendekat ke garis khatulistiwa maka nilai SDM kian membesar hingga mendekati 20º.

Sebaliknya, kian mendekat ke kedua kutub maka SDM kian mengecil hingga mendekati 12º.

Faktor geografis ditopang perbedaan ketebalan troposfer, sebagai bagian terpadat pada selimut udara Bumi, sehingga sifat optisnya paling kuat.

Ketebalan rata–rata troposfer di kawasan khatulistiwa mencapai 18 km, sementara pada kawasan lintang menengah sedikit menurun menjadi 17 km. Dan pada kawasan lintang tinggi–lingkar kutub menurun tinggal 6 km.

Namun begitu, ragam pendapat awal waktu Subuh kini justru mengemuka di Indonesia, negara yang dilintasi garis khatulistiwa. Ragam pendapat itu mulai terdeseminasi pada satu dasawarsa terakhir.

Seakan menantang pandangan mapan terkait nilai SDM Indonesia yang berpatokan pada 20º.

Nilai yang dipedomani dengan homogen baik oleh Kementerian Agama RI maupun Nahdlatul Ulama serta ormas–ormas Islam lainnya.

Kedudukan Pengamatan

Hasil pengkajian fikih oleh Lembaga Falakiyah PBNU menyimpulkan, terbitnya cahaya fajar merupakan penanda awal waktu Subuh dan juga awal berpuasa.

Hal tersebut tersurat misalnya dalam surat al–Baqarah ayat 187. Ayat tersebut juga menegaskan pentingnya membedakan fajar terhadap malam, yang secara tersirat membutuhkan aktivitas pengamatan cahaya fajar.

Aktivitas pengamatan demikian selaras dengan pandangan Nahdlatul Ulama, bahwa waktu–waktu ibadah yang berlandaskan pada fenomena langit tertentu sebaiknya diamati atau di–rukyah.

Prinsip ini juga melandasi rukyatul hilal yang telah menjadi agenda rutin Lembaga Falakiyah PBNU dalam menentukan awal bulan kalender Hijriyyah setiap bulannya sepanjang tahun.

Demikian pula pengamatan Gerhana Matahari dan Gerhana Bulan guna memastikan penyelenggaraan shalat gerhana.

Sedikit berbeda dengan rukyatul hilal, tidak ada perintah syar’i guna menyelenggarakan pengamatan Matahari secara terus menerus dalam hal penentuan waktu shalat.

Sehingga, pengamatan demikian bukan bagian dari ibadah. Namun pengamatan tetap perlu digelar secara periodik, dengan tujuan sebagai bagian upaya kehati–hatian. Yakni, agar hasil perhitungan waktu shalat tetap konsisten dengan posisi Matahari senyatanya.

Deskripsi lebih lengkap tentang cahaya fajar dapat ditemukan dalam sejumlah teks sabda Rasulullah SAW.

Misalnya dalam hadits riwayat Ibnu Khuzaimah dan Hakim (keduanya berstatus sahih) yang merujuk pada Ibnu Abbas.

Dalam teks tersebut terdapat dua jenis cahaya fajar, yakni cahaya fajar–semu (fajar kadzib) dan cahaya fajar–nyata (fajar shadiq).

Pada cahaya fajar–nyata, setiap Muslim diharamkan makan dan minum (saat puasa) dan diperbolehkan menunaikan ibadah shalat Subuh. Sedangkan pada cahaya fajar–semu, yang terjadi sebaliknya.

Dalam riwayat yang lain, misalnya pada hadits riwayat Hakim yang berasal dari Jabir, cahaya fajar–semu memiliki ciri khas sebagai cahaya fajar yang memanjang di [dari] kaki langit. Cahaya fajar–semu juga memiliki bentuk unik, yakni layaknya ekor serigala.

Baca juga: Benarkah Bangun Subuh Bikin Lebih Produktif?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com