Oleh: KH Salam Nawawi, KH Djawahir Fahrurrazi, KH Abdul Muid Zahid, KH Muhyidin Hasan, M. Basthoni, Ismail Fahmi, Eka Puspita Arumaningtyas, Nihayatur Rohmah, Imam Qustholaani, Rukman Nugraha, Suaidi Ahadi, KH Ahmad Yazid Fattah, KH Shofiyulloh, Djamhur Effendi, Khafid, Hendro Setyanto, Ahmad Junaidi, KH Imron Ismail, Mutoha Arkanuddin, Syifaul Anam, dan Muh. Ma’rufin Sudibyo
Kriteria awal waktu Subuh di Indonesia tidak perlu berubah. Waktu Subuh tetap bisa dimulai manakala tinggi Matahari negatif 20º terhadap kaki langit timur, sebagaimana berlaku selama ini.
Dalam terminologi ilmu falak, waktu Subuh di Indonesia tetap dapat menerapkan sudut depresi Matahari (SDM) 20º seperti dipedomani Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama RI. Sehingga tidak perlu ada yang berubah.
Demikian pandangan Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Falakiyah PBNU, setelah melaksanakan kajian berkesinambungan dengan melibatkan para peneliti berkompeten di bidangnya. Yakni para peneliti dalam disiplin ilmu fikih dan ilmu falak.
Baca juga: Tidak Ada Perubahan Waktu Subuh
Kriteria awal waktu Subuh dengan nilai tinggi Matahari negatif 20º tetap digunakan, karena telah memiliki landasan yang kuat dari dua keilmuan tersebut.
Nilai tinggi Matahari demikian sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW, para sahabat, para tabi’in, para tabi’it tabi’in, para shalafus shalih dan para auliya. Nilai tinggi Matahari tersebut juga sesuai data hasil pengamatan terkini terhadap cahaya fajar–nyata.
Dengan kajian mendalam ini, maka Umat Islam Indonesia pada umumnya dan warga Nahdlatul Ulama pada khususnya dapat menjalankan ibadah salat Subuh dan puasanya dengan lebih tenang dan nyaman.
Kita tetap berpedoman pada jadwal waktu salat yang ada pada saat ini, misalnya seperti yang disusun Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama.
Dalam ungkapan Drs. KH Sirril Wafa, MA (ketua Lembaga Falakiyah PBNU), “Dengan kajian ini maka awal waktu Subuh dan juga awal puasa di Indonesia yang selama ini kita pedomani memang memiliki landasan yang kukuh. Baik dalam ilmu fikih maupun ilmu falak."
"Bahwa dalam realitas terkini Indonesia mulai terdapat perbedaan pendapat dalam awal waktu Subuh, itu harus kita hormati dan hargai. Perbedaan tersebut serupa dengan perbedaan penentuan awal Ramadhan dan dua hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha).”
Waktu Subuh adalah salah satu dari kelima waktu salat wajib bagi Umat Islam. Seperti halnya waktu salat lainnya, durasi waktu Subuh dikontrol oleh kedudukan Matahari.
Namun berbeda dengan awal waktu salat lainnya (kecuali Isya), maka kita tidak menyaksikan piringan Matahari secara langsung pada saat awal waktu Subuh.
Melainkan, hanya melalui berkas cahaya Matahari pertama yang menembus atmosfer Bumi dan memasuki mata kita. Itulah cahaya fajar, atau lebih spesifik lagi cahaya fajar–nyata atau fajar shadiq.
Cahaya fajar adalah semburat cahaya yang merembang di langit timur sebagai penanda fajar dan terjadi sebelum Matahari terbit.
Padanannya adalah cahaya senja, yang melaburi langit barat pasca Matahari terbenam dan menjadi penanda petang.
Cahaya fajar merupakan fenomena keplanetan dalam tata surya kita, terjadi hanya pada planet yang memiliki selimut udara cukup tebal di atas permukaannya.
Selain di Bumi, program eksplorasi antariksa juga telah mendeteksi fenomena cahaya fajar di planet Mars dan di planet–kerdil Pluto.
Baca juga: Rahasia Alam Semesta, Kenapa Langit Senja dan Fajar Berwarna Orange?