Oleh: Muh. Ma’rufin Sudibyo
Anomali cuaca akibat pertemuan gelombang Rossby dan Kelvin di Indonesia menyebabkan sebagian besar langit Indonesia ditutupi awan dan hujan pada saat rukyat hilal awal Shaffar 1443 H.
Hilal tak terlihat, maka bulan Muharram 1443 H digenapkan menjadi 30 hari.
Anomali cuaca adalah salah satu ciri khas Indonesia sebagai benua maritim yang menempati jalur silang antar dua samudera yang dinamis.
Namun demikian, kondisi tersebut ternyata tidak berpengaruh pada kalender Hijriyyah pada Almanak nahdlatul Ulama yang berbasis rukyat.
Baca juga: Mengenal Rukyat dan Hisab, Cara untuk Menentukan Hilal Idul Fitri
Dengan berpegang teguh pada prinsip–prinsip kalender, konsistensi pun diraih.
Sebulan kalender Hijriyyah tetap mematuhi hadits Nabi Muhammad SAW, yakni sepanjang 29 atau 30 hari. Demikian halnya setahun kalender tetap berumur 354 atau 355 hari.
Para perukyat Nahdlatul Ulama, menjadi saksi mata terjadinya salah satu fenomena atmosfer yang tergolong langka pada saat melaksanakan tugas rukyat hilal awal Shaffar 1443 Hijriyyah.
Yakni pada pada Selasa senja 29 Muharram 1443 H lalu, bertepatan dengan 7 September 2021.
Dalam kebijakan Nahdlatul Ulama, rukyat hilal diselenggarakan pada setiap menjelang bulan kalender, sehingga dilaksanakan selama 12 kali dalam setahun Hijriyyah.
Karena rukyat hilal dipedomani sebagai ibadah yang bersifat wajib–komunal (fardhu kifayah), bukan sekedar sarana menentukan awal bulan kalender yang baru.
Fenomena langka yang terdeteksi saat itu adalah bagian dari pertemuan dua arus udara berskala besar, masing–masing gelombang Rossby dan gelombang Kelvin.
Gelombang Rossby adalah arus udara dingin yang normalnya merupakan arus jet kutub. Di bawah pengaruh sejumlah faktor, gerakan arus jet kutub dapat berubah menjadi lebih ‘bergelombang’ dibanding normalnya.
Pada satu titik, bagian arus jet kutub yang terlalu bergelombang dapat menjulurkan bagiannya hingga jauh memasuki daerah subtropis.
Untuk kemudian ‘terputus’ dan potongannya bergerak sendiri sebagai gelombang Rossby ke arah khatulistiwa.
Sedangkan gelombang Kelvin, merupakan arus udara hangat yang bersirkulasi di kawasan tropis dengan arah gerak sejajar garis khatulistiwa, terutama bergerak ke arah timur.
Baca juga: Apa Itu Awan Cumulonimbus dan Apa Dampaknya?
Pertemuan arus udara hangat dan dingin adalah faktor utama meningkatnya kandungan uap air di lokasi pertemuan dan sekitarnya.
Inilah yang terjadi pada saat rukyat hilal penentuan awal Shaffar 1443 H yang lalu.
Baik gelombang Rossby maupun Kelvin tidaklah kasat mata, meski skalanya raksasa. Sehingga, hanya bisa dideteksi secara tak langsung lewat teknik–teknik penginderaan jauh.
Namun, dampak pertemuannya dapat disaksikan lewat hadirnya tutupan awan tebal dan hujan yang turun pada sebagian besar wilayah Indonesia. Sebuah anomali di tengah–tengah musim kemarau.
Perukyat di Gresik dan Pamekasan (Jawa Timur) mendeteksi pembentukan awan Cumulonimbus yang menghalangi pandangan ke ufuk barat.
Awan tersebut berkembang demikian besar hingga menyerupai bunga kol raksasa yang khas. Awan ini, terdeteksi menurunkan hujan sebagian Jawa Timur dan Jawa Tengah, sebagaimana dilaporkan para perukyat di Blitar, Jombang hingga Kudus dan Semarang.
Pertumbuhan awan Cumulonimbus yang mirip juga terdeteksi di Makassar (Sulawesi Selatan).
Hadirnya awan Cumulonimbus yang kerap menurunkan hujan deras dan badai, merupakan salah satu ciri penanda terjadinya pertemuan dua arus udara hangat dan dingin.
Dari 19 titik rukyat awal Shaffar 1443 H yang berada di bawah jejaring Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama, mayoritas melaporkan terjadinya tutupan mendung atau bahkan turunnya hujan di lokasinya.
Hal serupa juga dialami oleh titik–titik rukyat yang berada dalam jejaring BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika).
LAPAN (Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional) melalui Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer memaparkan, pertemuan gelombang Rossby dari arah timur dan gelombng Kelvin dari arah barat, telah terdeteksi sejak awal September dan terus berlanjut hingga seminggu kemudian.
Dampak terparahnya adalah terjadinya hujan deras berdurasi lama di Kalimantan Tengah dan Timur, hingga menyebabkan bencana banjir di daerah ini.
Tutupan awan dan turunnya hujan di tengah musim kemarau pada saat rukyat hilal awal Shaffar 1443 H menyebabkan hilal tak terlihat.
Meskipun di atas kertas, Bulan diperhitungkan sudah setinggi 3º 43’ hingga 5º 41’ di atas ufuk pada saat Matahari terbenam di seluruh Indonesia dan diperhitungkan pula berada di atas ufuk antara 18 menit hingga 25 menit dari saat terbenamnya Matahari.
Hal serupa juga dialami oleh para pengamat dalam jejaring BMKG. Tutupan awan memang menjadi salah satu faktor penyebab tidak terlihatnya hilal, di samping faktor lainnya seperti kontras terhadap cahaya langit yang menjadi latar belakangnya.
Baca juga: Dampak Awan Cumulonimbus, Bisa Picu Puting Beliung hingga Banjir Bandang