Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Riset di Bandung, 80 Persen Pasien Buang Obat Sembarangan ke Tempat Sampah

Kompas.com - 12/08/2021, 19:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Sofa D. Alfian

PEMBUANGAN obat-obatan yang sudah kedaluwarsa atau tidak terpakai secara sembarangan dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.

Berbeda dengan di negara maju seperti di Swedia dan Australia yang telah lama memiliki sistem pengembalian obat bekas ke apotek, obat-obatan kedaluwarsa di negara berkembang, termasuk di Indonesia, kerap kali dibuang langsung ke tempat sampah rumah tangga dan berujung di tempat pembuangan akhir sampah.

Riset terbaru kami di Bandung, dengan 497 responden, menunjukkan hampir seluruh responden (95%) mempunyai setidaknya satu obat yang tidak terpakai di rumah mereka. Obat-obatan antiinflamasi, vitamin dan suplemen nutrisi, dan antibiotik merupakan jenis yang umum mereka simpan setelah tak digunakan. Mereka umumnya (82%) membuang obat-obat bekas itu di tempat sampah rumah tangga.

Masalah obat bekas ini menjadi serius, karena riset kami juga menunjukkan lebih dari separuh (53,1%) responden tidak mengetahui bahwa pembuangan obat yang tidak tepat dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan penduduk.

Baca juga: Ciri-ciri Obat Kedaluwarsa Menurut BPOM

Hal ini terjadi, tampaknya, karena sebagian besar responden (79,5%) belum pernah mendapatkan informasi tentang praktik pembuangan obat yang benar.

Buang sembarangan dan dampaknya

Riset terkait manajemen obat bekas atau tak terpakai masih jarang di Indonesia. Karena itu, riset ini merupakan awalan untuk membuka riset lebih luas tentang praktik pembuangan obat-obatan yang tidak terpakai dan kedaluwarsa di kalangan konsumen Indonesia.

Secara global, penggunaan produk farmasi memang meningkat, walau riset menunjukkan sebagian besar obat itu akhirnya tidak dipakai atau kedaluwarsa.

Peresepan dari dokter yang berlebihan, rendahnya kepatuhan pasien minum obat, perubahan jenis obat dan takaran terapi menyebabkan obat berlebih dan menjadi tidak terpakai dan berakhir di tempat sampah.

Dalam riset ini, kami menemukan sebagian besar responden (sekitar 82%) tidak menghabiskan obat karena kesehatannya membaik, obatnya kedaluwarsa (6,2%) dan resep yang berubah (5%).

Kabar baiknya, mayoritas responden, hampir 78 persen, mengecek tanggal kedaluwarsa obat sebelum membelinya. Artinya mereka menyadari pentingnya keamanan obat dari sisi masa pakai.

Baca juga: Cara Membuang Obat Kedaluwarsa dengan Benar Menurut BPOM

Membuang obat di tempat sampah secara langsung bukan monopoli orang Indonesia. Di negara maju seperti Amerika Serikat, sebuah riset menyatakan kurang dari 1% orang mengembalikan obat tak terpakai di apotik. Di sana, lebih dari 50% pasien membuang obat ke toilet.

Sejumlah riset di negara berkembang seperti China, India, Bangladesh, dan Ghana juga berkesimpulan bahwa metode paling umum membuang obat yang tak terpakai adalah membuangnya ke tempat sampah rumah tangga.

Di Indonesia juga sama saja, setidaknya dalam riset ini, tempat sampah rumah tangga merupakan tempat paling umum (82%) untuk melepas obat kedaluwarsa, disusul toilet atau wastafel (5%).

Pembuangan seperti itu akan mencemari lingkungan dan air di sepanjang jalur pembuangan, walau di Indonesia masih minim riset terkait topik ini.

Riset di Vietnam membuktikan bahwa antibiotik yang terkumpul dalam sistem perairan meningkatkan resistensi antibiotik dan meningkatkan kemampuan bakteri dalam menimbulkan penyakit. Pembuangan etinil estradiol, senyawa dalam pil kontrasepsi, menyebabkan gangguan sistem hormon reproduksi pada populasi kecoak.

Jejak kontaminasi dari obat juga terdeteksi di fasilitas pengelohan air minum konvensional di Amerika.

Adapun penyimpanan obat-obatan sembarangan di rumah dapat memberi peluang penyalahgunaan obat dan keracunan yang tidak disengaja, terutama pada anak-anak di bawah lima tahun.

Jika obat kedaluwarsa dan rusak tidak dimusnahkan dengan benar, obat-obat bisa dipakai sebagai campuran jamu, bahan baku baku obat palsu atau tanggal kedaluwarsa diganti dan obat dijual lagi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Ini jelas membahayakan kesehatan masyarakat.

Baca juga: Ahli Bantah Dexamethasone dan Azythromycin pada Covid-19 Sebabkan Asidosis Laktat akibat Interaksi Obat

Kebijakan, edukasi dan kampanye

Untuk mengatasi masalah ini, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), apotek dan tenaga kesehatan harus meningkatkan kampanye terkait tata cara yang benar mengelola obat bekas agar tidak membahayakan kesehatan dan lingkungan.

Apotek dan fasilitas kesehatan punya peran penting dalam mengarahkan masyarakat mengelola obat-obat bekas dengan aman dan benar.

Karena rendahnya paparan informasi tentang praktik pembuangan obat yang benar di masyarakat, pendidikan atau kampanye tenang bahaya obat yang dibuang sembarangan menjadi penting, menurut mayoritas (96%) responden.

Kurangnya kesadaran akan dampak dari membuang obat secara tidak benar merupakan faktor penyebab yang signifikan dari praktik membuang obat secara sembarangan.

Dalam riset ini terungkap juga bahwa responden yang kurang sadar bahaya buang obat sembarangan cenderung membuang obat yang tidak terpakai ke tempat sampah atau membaginya dengan teman atau kerabat. Padahal, membagikan obat keras tanpa resep dari dokter sangat tidak dianjurkan karena bisa membahayakan tubuh.

Sebenarnya, BPOM telah memiliki kebijakan dan petunjuk cara mengelola obat-obatan kedaluwarsa atau rusak agar tidak melahirkan dampak buruk bagi kesehatan penduduk dan lingkungan. BPOM juga telah mengumumkan 1.000 apotek di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan dan Nusa Tenggara yang bisa menjadi tempat pengembalian obat bekas. Kita bisa menyerahkan kembali obat kedaluwarsa dan rusak itu ke apotek-apotek tersebut.

Baca juga: Tak Selalu Buruk, Ini 3 Macam Interaksi Obat yang Bisa Terjadi

Secara teknis, BPOM memberikan panduan cara tepat membuang obat kedaluwarsa dan rusak. Pertama, pisahkan obat-obatan yang kedaluwarsa dan rusak dari obat yang masih baik. Kedua, hilangkan label dari wadah obat. Rusaklah wadah obat jika memungkinkan. Ketiga, keluarkan obat dari kemasan, lalu rusak dan campur obat dengan bahan lain seperti ampas kopi, tanah atau sampah rumah tangga lainnya.

Lalu, untuk antibiotik, jangan membuangnya di saluran air atau tanah yang dekat dengan sumber air. Ini untuk menghindari pencemaran dan resistensi antibiotik. Kita perlu memastikan bahwa bentuk obat telah berubah dan tidak bisa dimanfaatkan lagi.

Jika cara itu kita lakukan, kita telah ikut mengurangi dampak buruk dari pembuangan obat kedaluwarsa dan rusak.

Sofa D. Alfian

Lecturer, Department of Pharmacology and Clinical Pharmacy, Universitas Padjadjaran

Artikel ini tayang di Kompas.com berkat kerja sama dengan The Conversation Indonesia. Tulisan di atas diambil dari artikel asli berjudul "Riset di Bandung: lebih dari 80% pasien tidak habiskan obat dan membuangnya ke tempat sampah". Isi di luar tanggung jawab Kompas.com

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com