Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 31/07/2021, 09:03 WIB
Monika Novena,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pada April 1815, Gunung Tambora meletus. Hingga saat ini, erupsi Gunung Tambora dianggap sebagai salah satu letusan gunung berapi terdahsyat dalam sejarah tertulis dunia.

Bagaimana tidak, gunung berapi yang berada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini saat erupsi memuntahkan abu sebesar 150 km kubik. Aerosol yang dikeluarkan pun mencapai 60 mega ton.

Letusan juga menimbulkan kaldera dengan diameter 7 km dan sedalam 1,1 km, menjadikannya sebagai kaldera terdalam di dunia.

Dampaknya pun tak main-main, diperkirakan ada lebih dari 92.000 nyawa melayang akibat letusan yang terjadi April 1815.

Baca juga: Apa yang Terjadi bila Gunung Tambora Meletus di Masa Depan?

Tak heran, letusan Tambora tercatat sebagai letusan terdahsyat yang terekam di zaman modern karena mencapai skala 7 berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI).

Namun dikatakan Dr. Ir. Igan Supriatman Sutawidjaja, Ahli Gunung api dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), letusan Tambora tak terjadi secara tiba-tiba melainkan bertahap.

Dalam webinar bertajuk Jejak-Jejak Peradaban Tambora: Secercah Harapan di Balik Bencana, yang dikutip Kompas.com dari kanal YouTube Balar Bali, Jumat (30/7/2021), Igan menuturkan setidaknya sejak tahun 1812, Tambora sudah mulai menunjukkan keaktifannya.

Sayangnya saat itu, masyarakat di sekitar Tambora hanya menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa saja dan tak melakukan hal apapun. Hingga akhirnya, letusan klimaks terjadi pada 10-11 April 1815.

Dampak letusan Gunung Tambora

Erupsi dahysat itu pun memporak porandakan peradaban yang ada di sekitar Tambora.

Saat itu ada tiga kerajaan yang berada di wilayah gunung berapi tersebut, yaitu Tambora, Pekat, dan Sanggar.

Sebaran awan panas yang tebal menghabiskan dan mengubur hampir wilayah yang ada di sekeliling gunung, tak terkecuali kerajaan-kerajaan tersebut.

Panorama Gunung Tambora di Pulau Sumbawa. SHUTTERSTOCK/RYNOISE Panorama Gunung Tambora di Pulau Sumbawa.

Awan panas itu menurut Igan mencapai 800 derajat CelSius, sehingga apapun yang dilewatinya pun langsung menjadi arang, termasuk penduduk yang tak sempat menyelamatkan diri serta rumah-rumah penduduk yang kala itu masih menggunakan kayu.

"Letusan mengarah ke barat, selatan, dan utara yang merupakan wilayah dari kerajaan Tambora dan Pekat," ungkap Igan.

"Area pada jarak 600 km barat gunung bahkan mengalami kegelapan sampai 3 hari," tambahnya.

Sementara itu, abu Tambora menyebar ke seluruh dunia selama 3 bulan, bahkan didorong angin menyebabkan abu sampai ke wilayah Kutub Utara.

Baca juga: Fakta Unik Letusan Tambora Ternyata Turut Lahirkan Sepeda

Erupsi dahysat yang menciptakan kolom letusan mencapai 43 km itu kemudian juga menyebabkan bagian utara Hemisfir mengalami penurunan suhu hingga 11 derajat Celsius yang memicu terjadinya year without summer alias tahun tanpa musim panas di tahun 1816.

Sedangkan kerajaan Sanggar cukup beruntung karena awan panas tak langsung mengarah ke Timur sehingga Raja Sanggar bisa menyelamatkan diri.

Meski begitu pasca bencana, Kerajaan Sanggar masih harus berjibaku keluar dari situasi sulit.

Ilmuwan Belgia, Albert Colfs yang berkunjung beberapa tahun usai letusan menyebut jika kondisi kerajaan sangat memprihatinkan dan miskin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com