Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Vaksin Covid-19 Berbayar Ditolak Sejumlah Warga dan Epidemiolog

Kompas.com - 12/07/2021, 11:02 WIB
Gloria Setyvani Putri

Editor

KOMPAS.com - Kebijakan vaksinasi berbayar kepada individu yang mulai digulirkan Senin (12/07/2021) ditentang pakar kesehatan masyarakat karena dikhawatirkan bakal menebalkan kecurigaan dan isu liar di tengah masyarakat bahwa pemerintah berorientasi pada bisnis di tengah pandemi Covid-19.

Menurut epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, vaksinasi berbayar baru bisa diterapkan jika seluruh masyarakat telah mendapatkan haknya dalam layanan kesehatan seperti vaksin.

Tapi juru bicara vaksinasi Covid-19 di Kementerian Kesehatan dan staf ahli Menteri BUMN mengeklaim kebijakan ini bertujuan untuk memperluas cakupan vaksinasi demi mencapai kekebalan kelompok atau herd immunity.

Diberitakan Kompas.com edisi Senin, 12 Juli 2021, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai program vaksin gotong royong dan vaksin individu berbayar bisa mendorong tindakan komersialisasi yang hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu.

Baca juga: Efikasi dan Efek Samping Sinopharm, Akan Digunakan Vaksinasi Berbayar

“Setiap transaksi jual beli dalam proses ekonomi berpotensi menyebabkan terjadinya komersialisasi oleh produsen yang memproduksi vaksin dan pemerintah sebagai pembuat regulasi, terhadap konsumen dalam hal ini rakyat termasuk buruh yang menerima vaksin,” ujar Said Iqbal dalam siaran pers, Senin (12/7/2021).

Komersialisasi vaksin yang dimaksud adalah transaksi jual beli harga vaksin yang dikendalikan oleh produsen (pembuat vaksin).

Adapun beberapa alasan yang menjadi kekhawatiran KSPI itu salah satunya, berkaca dari program rapid test untuk mendeteksi terpapar atau tidaknya seseorang dari virus Covid-19, mekanisme harga yang ada di pasaran cenderung mengikuti hukum pasar.

Awalnya pemerintah menggratiskan program rapid test tersebut, tetapi belakangan rapid test mengalami komersialisasi dengan harga yang memberatkan.

“Misalnya, adanya kewajiban rapid test sebelum naik pesawat dan kereta api, bertemu pejabat, bahkan ada buruh yang masuk kerja pun diharuskan rapid test.

Bahkan perusahaan yang awalnya mengratiskan rapid test bagi buruh di tempat kerja masing-masing akhirnya setiap buruh harus melakukannya secara mandiri,” jelas Said.

Maka dari itu, Said menilai tidak menutup kemungkinan program vaksin gotong royong dan vaksin berbayar secara individu juga terjadi hal yang sama.

Menurut dia, vaksin berbayar, secara tidak langsung pemerintah mengabaikan hak sehat untuk rakyat karena tidak lagi dibiayai pemerintah.

Ilustrasi vaksin Sinopharm yang diproduksi perusahaan farmasi China.SHUTTERSTOCK/Steve Heap Ilustrasi vaksin Sinopharm yang diproduksi perusahaan farmasi China.

Vaksinasi berbayar akan menguatkan isu orientasi bisnis

Diberitakan BBC Indonesia, Senin (12/7/2021), Epidemiolog dari Universitas Airlangga, Windhu Purnomo, menilai kebijakan vaksinasi berbayar kepada individu atau orang perorangan akan menguatkan isu yang berkembangkan di masyarakat bahwa pemerintah hanya berorientasi pada bisnis di tengah pandemi.

Ini karena program vaksinasi gratis yang tengah berjalan baru menyasar 14 juta orang atau belum memenuhi target yang ditetapkan pemerintah yakni 181 juta jiwa.

Menurut Windhu, vaksinasi berbayar baru bisa diterapkan jika seluruh warga telah mendapatkan vaksin.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com