Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Pengembangan PLTN di Indonesia Dinilai Belum Realistis

Kompas.com - 27/06/2021, 18:02 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penggiat lingkungan meminta PT Perusahaan Listrik Negara (PLN/persero) untuk mempertimbangkan kembali rencana pengembangan pembangkit nuklir baru masuk ke dalam bauran energi di tahun 2040.

Rencana ini dikeluarkan PLN, setelah ikrar yang dibuatnya dalam target mencapai carbon neutral tahun 2060.

Penulis kajian The Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Elrika Hamdi mengatakan, rencana ini menunjukkan bahwa PLN belum begitu realistis terhadap persoalan ini secara menyeluruh.

Menurut Elrika, tantangan teknis, ekonomi dan pasar perlu diatasi jika tenaga nuklir akan diintegrasikan ke dalam bauran energi Indonesia di kemudian hari.

Baca juga: PLTN Dinilai Lebih Aman, tapi Adakah Risiko Bila Terjadi Gempa?

Elrika menegaskan, sampai semua masalah ini diakui dan diatasi sepenuhnya, maka jalan teraman bagi Indonesia saat ini adalah untuk berhenti sejenak dan menetapkan tujuan yang realistis bagi pengebangan sektor kelistrikannya.

Ini termasuk memanfaatkan sumber energi terbarukan yang berlimpah di Indonesia dan mempertimbangkan kondisi kelayakan pasar energi.

Dalam pemaparannya, Elrika menuturkan, saat ini hanya 2,5 persen dari 400 GW potensi energi terbarukan di Indonesia yang telah diamanfaatkan.

"Ini berarti, opsi-opsi teknologi baru seperti nuklir harus mampu berkompetensi dengan kurva biaya energi terbarukan yang terus menurun, yang dibuktikan dengan solusi-solusi energi terbarukan yang semakin murah dan berisiko rendah," kata dia dalam diskusi dariang bertajuk IEEFA: Pembangkit Nuklir di Indonesia: Euforia Tanpa Kelayakan Teknis, Finansial maupun Pasar, Rabu (2/6/2021).

Lebih lanjut, Elrika menegaskan, dalam upaya mencapai target carbon neutrol tahun 2060, seharusnya PLN mencari alternatif atau inovasi-inovasi baru lainnya yang lebih realistis dari berbagai aspek.

Inovasi baru untuk mendukung fleksibilitas jaringan seperti demand response dan storage saat ini menyediakan alternatif yang hemat biaya bagi proses perencanaan sistem yang baseload-heavy.

Menurutnya, tren ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana teknologi reaktor nuklir skala kecil dapat bersaing dalam pasar tenaga listrik yang semakin beragam?.

Terutama, ketika opsi energi terbarukan lebih kompetitif dari segi biaya sehingga mengalahkan teknologi baru yang belum teruji dan masih jauh dari skala ekonomisan ini.

"Opsi teknologi nuklir yang lebih kecil, mudah digunakan, dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi seperti dijanjikan oleh Gen-IV SMR ini memang terlihat menggiurkan, jika dan hanya pada saat teknologi ini telah mencapai tahap komersial," ujarnya.

Elrika Hamdi mengatakan, pendukung nuklir di Indonesia sering menjanjikan tenaga nuklir akan menjadi solusi yang terjangkau, aman dan berkelanjutan untuk mengatasi masalahketergantungan negara ini pada bahan bakar fosil.

Akan tetapi, saat ini pembangkit nuklir belum memiliki kelayakan teknis, ekonomis, maupun pasar dalam konteks Indonesia.

Disampaikan Elrika, ada beberapa permasalahan terkait tenaga nuklir di antaranya adalah sebagai berikut:

  • Keandalan teknologi
  • Faktor keamanan dan perlindungan keselamatan
  • Kondisi geografis wilayah Asia Tenggara
  • Prospek decommissioning
  • Pengolahan dan pembuangan permanen limbah nuklir
  • Ketersediaan bahan bakar
  • Keterjangkauan biaya dan risiko pembengkakan biaya yang sering terjadi
  • Biaya penutupan pembangkit nuklir yang sering terabaikan

Baca juga: DPR RI Diminta Tak Masukkan Isu Nuklir dan Energi Fosil ke UU EBT

Sehingga, ia kembali menegaskan, sampai saatnya teknologi tersebut dinilai layak secara teknis dan finansial, maka opsi teraman bagi Indonesia adalah untuk menetapkan skenario net zero dengan menggunakan sumber daya dan teknologi yang sudah pasti tersedia.

Serta, memiliki biaya yang lebih murah, risiko yang lebih kecil, dan kewajiban dikemudian hari yang lebih sedikit.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com