Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Peneliti Ungkap Alasan Paus dan Lumba-Lumba Kebal Kanker

Kompas.com - 28/02/2021, 09:15 WIB
Monika Novena,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Paus, lumba-lumba, dan porpoise diketahui memiliki kemampuan yang jauh lebih baik dalam memerangi kanker dibandingkan manusia.

Kini peneliti berhasil memahami lebih dekat mengapa hewan yang masuk dalam ordo cetacea ini memiliki kemampuan tersebut.

Seperti dikutip dari New Scientist, Jumat (26/2/2021) secara umum cetacea merupakan mamalia yang berumur panjang. Beberapa spesies paus bahkan merayakan ulang tahun ke-200 mereka.

Baca juga: Termasuk Mamalia, Paus Berparuh Bisa Tahan Napas Lebih dari 3 Jam

Namun mengapa hal itu terjadi masih menjadi misteri.

Dengan ukuran tubuh mereka yang besar, otomatis mereka memiliki lebih banyak sel daripada yang dimiliki manusia.

"Sementara jika memiliki lebih banyak sel, itu berarti risiko menjadi kanker akan meningkat pula. Jadi kalau Anda bertubuh besar atau hidup lebih lama, Anda memiliki ribuan dan jutaan sel yang bisa menjadi berbahaya," kata Daniel Tejada-Martinez dari Universitas Austral di Chile.

Namun sebaliknya, cetacea justru memiliki tingkat kanker yang jauh lebih rendah daripada kebanyakan mamalia lain, termasuk manusia. Situasi ini dikenal sebagai paradoks Peto.

Sekarang, Tejada-Martinez dan rekan-rekannya telah mempelajari mengapa hal itu bisa terjadi.

Peneliti mempelajari evolusi dari 1.077 gen penekan tumor (TSG). Secara keseluruhan, mereka membandingkan evolusi gen pada 15 spesies mamalia, termasuk tujuh spesies Cetacea.

Hasilnya mereka menemukan kalau gen yang mengatur kerusakan DNA, penyebaran tumor dan sistem kekebalan dipilih secara positif di antara cetacea.

Baca juga: Seperti Manusia, Hewan Mamalia Betina Hidup Lebih Lama dari yang Jantan

Tim juga menemukan bahwa cetacea memperoleh dan kehilangan gen penekan tumor pada tingkat 2,4 kali lebih tinggi daripada mamalia lain.

"Jika kita dapat menemukan gen yang berperan dalam penekanan tumor pada hewan lain dan mengetahui apa yang mereka lakukan, mungkin Anda dapat membuat obat yang menyerupai itu untuk pengobatan manusia," ungkap Vincent Lynch dari Universitas di Buffalo, New York.

Studi dipublikasikan di Proceedings of the Royal Society B.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com