Dwikorita mengatakan, La Nina terakhir pada tahun 2010, di mana untuk wilayah Indonesia dikenal sebagai tahun basah karena hampir terkesan tidak ada kemarau sepanjang tahun akibat curah hujan yang berlebih.
"La Nina lebih dipandang sisi negatifnya saja yang berdampak pada bencana hidrometeorologi," kata Dwikorita dalam diskusi bertajuk La Nina: Manfaatkan Air Hujan Berlimpah untuk Kesejahteraan dan Pengurangan Risiko Bencana Hidrometeorologi, Selasa (29/12/2020).
Padahal, dalam enam kali La Nina dalam periode 30 tahun terakhir, telah terjadi surplus air tanah tahunan di Waeapo, Pulau Buru sebesar 755 mm atau setara dengan 222 persen dari kondisi normalnya.
Baca juga: Waspadai Hujan Lebat Sepekan Mendatang Akibat La Nina, Ini Wilayahnya
Oleh karena itu, sebenarnya kata Dwikorita, hal tersebut mengindikasikan bahwa dampak La Nina selain memiliki sisi ancaman, ternyata juga punya peluang positif yang dapat dimanfaatkan.
Adapun, pemanfaatannya nanti bisa berupa panen hujan dan surplus air tanah, peningkatan produktivitas pertanian yang memerlukan banyak air, dan pemanfaatan telaga yang muncul selama tahun basah untuk budidaya ikan air tawar semusim.
"Kita bisa mengambil berkah dari fenomena La Nina, sehingga para petani di wilayah yang sudah terkenal selalu kering dan kekurangan air bisa melakukan pemanenan air, dan di akhir musim kemarau transisi yaitu September-Oktober masih bisa melakukan pemanenan kacang tanah," jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.