Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Polusi Udara di Jakarta Menurun Selama Pandemi? Ini Faktanya

Kompas.com - 18/12/2020, 13:05 WIB
Ellyvon Pranita,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Beberapa waktu yang lalu, tepatnya Selasa (1/12/2020), tagar #langitjakarta menjadi trending topic di media sosial Twitter.

Tagar #langitjakarta mengindikasikan cerahnya langit ibu kota Jakarta, berwarna biru terang dengan awan-awan putih yang terlihat jelas, tanpa terhalau kabut polusi 

Selain trending langit biru yang cerah di Jakarta, banyak anggota masyarakat menyebut polusi udara di Kota Jakarta juga lebih rendah daripada biasanya pada tahun 2020 ini.

Baca juga: Trending Langit Jakarta Biru Cerah Hari Ini, Ini Penjelasan BMKG

Hal ini dikaitkan dengan berkurangnya aktivitas di Ibu Kota akibat pandemi Covid-19 yang juga melanda ratusan negara di dunia.

Padahal, Kota Jakarta telah lama dikenal dengan kota metropolitan yang kualitas udaranya buruk karena polusi dan emisi karbon.

Lantas, benarkah polusi udara di Jakarta menurun selama pandemi Covid-19?

Para aktivitis lingkungan angkat bicara dengan fakta yang mereka temukan di lapangan.

1. Konsentrasi PM 2.5 lampaui ambang batas tahunan

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengatakan, secara kasatmata, langit biru dan cuaca cerah memang terasa membawa udara segar untuk warga ibu kota Jakarta.

Namun, dari data, hal itu berbanding terbalik karena minimnya hari dengan kualitas udara sehat, yang tercatat dari alat pemantau kualitas udara di dua stasiun, yakni di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.

Berdasarkan pengumpulan data oleh Greenpeace Indonesia sejak bulan Januari hingga 12 Desember 2020, ditemukan bahwa kualitas udara selama masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) mayoritas masih dalam kategori sedang hingga tidak sehat untuk kelompok sensitif.

Tidak sampai di situ saja, usai PSBB transisi diterapkan, didapati juga konsentrasi PM 2.5 dan Nitrogen Dioksida (NO2) Jakarta terus meningkat.

Bahkan, Jakarta berada di peringkat kelima untuk ibu kota di dunia dengan kualitas udara (PM 2.5) terburuk menurut laporan IQAir (Air Visual) yang diluncurkan pada Februari 2020.

Untuk diketahui, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menjelaskan, partikulat PM 2.5 adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer), dengan nilai ambang batas (NAB) yang diperbolehkan adalah 65 ugram per m3.

Sementara itu, NO2 adalah senyawa kimia yang umumnya digunakan sebagai bahan sintesis untuk pembuatan asam nitrit, dengan kata lain gas berwarna coklat kemerahan yang dipancarkan oleh mesin pembakaran.

"Jika dilihat lebih lanjut secara keseluruhan data yang disajikan sepanjang tahun 2020, terlihat bahwa hanya terdapat 11 hari (tujuh di Jakarta Pusat dan tiga di Jakarta Selatan) dengan kategori udara sehat (hijau) yang terdeteksi di dua stasiun pemantauan kualitas udara," ujar Bondan.

Adapun rata-rata harian konsentrasi PM 2.5 terdapat 13 hari, yaitu empat hari di Jakarta Pusat dan sembilan hari di Jakarta Selatan, yang melebihi ambang batas nasional pada bulan Juni-Agustus.

Sementara itu, data rata-rata tahunan yaitu pada bulan Januari hingga 7 Desember 2020 diperoleh angka 35 ugram per m3 di Jakarta Pusat dan 43 ugram per m3 di Jakarta Selatan.

Ini artinya rata-rata tahunan ini sudah melebihi ambang batas, baik dalam standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu 10 ugram per m3, ataupun standar Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) Nasional 15 ugram per m3.

"Tentunya ambang batas yang sudah ditetapkan dalam regulasi sudah didasarkan pada dampak kesehatan yang akan terjadi apabila BMUA tersebut terlampaui," jelasnya.

Baca juga: Polusi Udara Terbukti Sebabkan Gangguan Otak pada Anak dan Dewasa Muda

 

Langit cerah.- Langit cerah.
2. Indeks kualitas udara buruk 

Peneliti dari Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Bella Nathania mengungkapkan, langit biru Jakarta terlihat hanya karena penerapan PSBB, tetapi indeks kualitas udara tetap terbilang buruk.

Artinya, kata Bella, kebijakan PSBB dilakukan semata-mata untuk membatasi aktivitas publik dan meminimalisasi penyebaran pandemi Covid-19, tetapi tidak dengan tujuan jangka panjang, yaitu memperbaiki kualitas udara yang sebenarnya juga dapat mengurangi jumlah kematian akibat virus corona.

Baca juga: Selain Sebabkan Kematian, Waspadai 4 Dampak Buruk Polusi Udara

3. Warga menggugat negara atas pencemaran udara

Di balik pandangan tentang pencemaran udara tahun ini yang telihat baik secara kasatmata, ternyata berbanding terbalik dalam hal data yang juga diungkapkan oleh LBH Jakarta.

Sejak tahun lalu, LBH Jakarta mendampingi proses Gugatan Warga Negara atas Pencemaran Udara Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Ayu Eza Tiara sebagai salah satu tim advokasi yang mendampingi proses hukum 32 penggugat menyebutkan, sudah ada 88 alat bukti surat dan tiga saksi fakta yang dibawa ke muka persidangan.

Dalam persidangan, Ayu mengungkapkan, meski pihak penggugat sudah menghadirkan saksi fakta dari publik, ternyata kuasa hukum tergugat merespons dengan cukup defensif.

"Mereka malah mengatakan pengakuan dari saksi fakta dianggap sebagai penyakit yang sudah lama, bukan karena polusi udara. Lalu, harus berapa banyak lagi warga negara yang menderita pencemaran udara? Karena kenyataannya kondisi paru-paru setiap orang berbeda-beda," tegas Ayu.

"Tiga saksi fakta tersebut ada yang dari open-call (mengundang masyarakat umum yang menderita akibat pencemaran udara dan mau berpartisipasi) dan kita juga akan menghadirkan tiga saksi ahli," imbuhnya.

Baca juga: Polusi Udara Sebabkan 500.000 Bayi Meninggal, Begini Penjelasan Sains

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com