Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Teknologi Lidar Bantu Arkeolog Ungkap Misteri Percandian Muarajambi

Kompas.com - 28/11/2020, 20:00 WIB
Ellyvon Pranita,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Penggunaan teknologi light detection and raging (Lidar) telah memberi harapan baru bagi para arkeolog Indonesia untuk mengungkap misteri peradaban di kompleks percandian Muarajambi, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi.

Seperti diketahui, Indonesia dikenal akan kekayaan budaya yang tak ternilai harganya. Salah satunya adalah peninggalan Sriwijaya, negeri di Nusantara yang wilayah kekuasaannya membentang dari Selat Malaka hingga pantai timur Sumatra.

Namun, masih banyak misteri di balik kejayaan Sriwijaya yang berdiri mulai dari abad ke-7 hingga abad ke-12.

Catatan historis memberitakan kiprah Sriwijaya berakhir di Jambi. Di sanalah kompleks percandian Muarajambi berada.

Baca juga: Harta Karun Sriwijaya Butuh 2 Hal Ini untuk Dipastikan Kebenarannya

Kendati belum ada bukti yang bisa menunjukkannya sebagai pusat Kadatuan Sriwijaya di Jambi, keberadaan situs ini berhubungan dengan masa kejayaan Sriwijaya.

Pada 2019 lalu, atas inisiasi Djarum Foundation dan Historia yang didukung oleh sejumlah arkeolog melakukan penelitian menggunakan teknologi Lidar di wilayah Kompleks Percandian Muarajambi.

Ini adalah pertama kalinya teknologi Lidar digunakan dalam dunia arkeologi Indonesia.

Sehingga, penelitian dengan bantuan Lidar ini diharapkan bisa mengungkap lebih jauh peradaban percandian Muarajambi dan menambah pengetahuan baru serta rasa bangga generasi muda Indonesia.

Hasil pemindaian Lidar

Pemindaian Lidar telah dilakukan sejak tahun 2019. Hasilnya menunjukkan bahwa Kompleks Percandian Muarajambi kemungkinan besar lebih luas daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Arkeolog senior dari Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACB), Junus Satrio Atmojo dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com mengungkap bahwa awalnya situs Muarajambi diperkirakan memanjang di tepi Sungai Batanghari sejauh 7,5 kilometer saja.

Namun, ternyata dari hasil Lidar menunjukkan, situs itu kemungkinan mencapai sekitar 9 kilometer.

Pemindaian itu dilakukan dengan menggunakan sinar laser.

Selain kemungkinan situs mencapai 9 kilometer tersebut, pemindaian juga menampilkan banyak gejala temuan arkeologi baru di situs Buddhis ini.

"Teknologi Lidar ini baru dicoba sebetulnya, di Asia Tengah, di Amerika Latin. Teknologi ini bisa menunjukkan gambaran yang lebih akurat daripada yang tampak di permukaan tanah," kata Junus yang akrab disapa Pak Oteng ini.

Kondisi di dalam pesawat yang sedang memindai kawasan Situs Muarajambi dengan teknologi Light detection and raging (Lidar). (dok. Historia) Kondisi di dalam pesawat yang sedang memindai kawasan Situs Muarajambi dengan teknologi Light detection and raging (Lidar).

Menurut Pak Oteng, teknologi Lidar adalah harapan baru yang dapat mengungkap misteri di balik situs Buddhis, Kompleks Percandian Muarajambi ini.

Hal itu disampaikannya karena Pak Oteng sendiri merupakan salah satu arkeolog di Indonesia yang telah lama meneliti Kawasan Cagar Budara Muarajambi.

Ia pernah menjabat sebagai Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi era 1990-1997, sehingga bermacam cara dan teknologi pernah ia gunakan untuk bisa memetakan pola struktur bata yang tersebar di kawasan Muarajambi.

"Dengan teknologi satelit, kita bisa lihat keseluruhan dari wilayah Muarajambi. Namun, kita masih tidak bisa mendapatkan gambaran bagaimana kawasan itu ketika masih dihuni pada 800-1000 tahun silam," kata dia.

"Sampai saya dihubungi Djarum Foundation, yang mengabarkan mereka akan mendukung penggunaan teknologi Lidar di dunia arkeologi Indonesia. Saya seperti mendapat jackpot, karena meski sudah dikenal, teknologi LiDAR sebelum ini tidak pernah digunakan di dunia arkeologi Indonesia," imbuhnya.

Muarajambi adalah kawasan pendidikan Buddha

Dari hasil penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, diperkirakan Muarajambi merupakan kawasan pendidikan Buddha yang banyak didatangi biksu atau pelajar dari berbagai negeri.

Salah satunya adalah Mahaguru dari Banglades, Atisha Dipamkara Shrijnana.

Pada tahun 1012-1024, Athisa disebutkan tinggal di Sumatra untuk menerima ajaran langsung dari Sherlingpa Darmakirti, salah satu guru Buddhis tersohor pada masa itu.

Studi Atisha selama 12 tahun di Sumatra kelak terbukti menjadi bekal pengalaman dalam mereformasi Buddhisme di Tibet.

"Penemuan-penemuan arkeologi dan sejumlah catatan sejarah menunjukkan bahwa pada masa itu, Nusantara sudah bisa memberikan pengaruh besar kepada dunia internasional," ujar Bonnie Triyana, Pemimpin Redaksi Historia.id. 

"Ini yang perlu kita cari tahu terus sampai betul-betul ada bukti terang supaya generasi-generasi mendatang memiliki pemahaman dan kebanggan," tambahnya.

Baca juga: 5 Fakta Sejarah Majapahit, Kerajaan Terbesar di Nusantara

Generasi muda jadi target kajian

Direktur Strategi dan Pembangunan berkelanjutan Djarum Foundation, Jemmy Chayadi mengatakan, pihaknya menginisiasi Lidar ini karena ingin generasi muda Indonesia mengenal, bangga dan pada akhirnya melestarikan kebudayaan Indonesia.

Jemmy berkata, melihat konteks dunia global sekarang, generasi muda Indonesia bisa mengakses informasi dari mana saja secara langsung. Dengan kata lain, generasi muda saat ini mudah mengonsumsi tren budaya global.

"Inilah yang sebenarnya saya khawatirkan, yaitu seberapa dalam generasi muda mengenal identitasnya sebagai bangsa Indonesia," ucap Jemmy.

Menurut dia, tentunya pendalaman identitas itu tidak terlepas dari seberapa besar generasi muda Indonesia mengetahui dan mengerti kebudayaan dan sejarah Indonesia.

"Oleh karena itu, kami dari Djarum Foundation menilai perlu untuk mendukung usaha pelestarian budaya dan sejarah Indonesia yang sangat kaya dan majemuk. Supaya generasi muda bisa meneruskan perjuangan memajukan bangsa Indonesia yang lebih di masa depan," ujar Jemmy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com