Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Obat Multiple Sclerosis Bantu Pasien Covid-19 Pulih, Ini Buktinya

Kompas.com - 13/11/2020, 19:02 WIB
Holy Kartika Nurwigati Sumartiningtyas

Penulis

Sumber CNN


KOMPAS.com- Sembari menanti ilmuwan menyelesaikan penelitian vaksin virus corona, berbagai upaya pengobatan Covid-19 dilakukan untuk membantu pasien yang terinfeksi segera pulih.

Sebelumnya, sejumlah komunitas medis memberikan serangkaian pengobatan sambil menguji beberapa obat yang mungkin bisa membantu terapi Covid-19.

Kali ini, obat yang biasa diresepkan untuk pasien dengan penyakit multiple sclerosis mencoba diteliti sebagai potensial obat bagi pasien Covid-19. Sementara, penyakit multiple sclerosis adalah penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf pusat.

Dikutip dari CNN, Jumat (13/11/2020), para peneliti di Inggris melaporkan bahwa obat multiple sclerosis ini dapat membantu mengurangi risiko keparahan Covid-19.

Kendati demikian, masih diperlukan banyak penelitian untuk menunjukkan apakah obat yang berfungsi untuk menenangkan sistem kekebalan tubuh itu dapat benar-benar membantu pasien dengan Covid-19 parah.

Baca juga: Terapi Multiple Sclerosis Turunkan Imunitas Orang Usia Produktif, Kok Bisa?

 

Dalam studi yang dilakukan para peneliti tersebut, mereka menemukan versi eksperimental baru dari obat tersebut yakni interferon beta-1a, yang diproduksi sebuah perusahaan bioteknologi Inggris, Synairgen.

Obat eksperimental itu kemudian kembali digunakan untuk mengobati Covid-19, yang kemungkinan dapat meningkatkan pemulihan pada pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit dalam uji coba fase 2.

"SNG001 mengurangi kemungkinan berkembangnya penyakit parah atau kematian hingga 79 persen," tulis para peneliti dalam studi yang diterbitkan di jurnal The Lancet Respiratory Medicine.

Untuk diketahui, obat SNG001 adalah formula hirup dari interferon beta-1a yang biasanya digunakan untuk mengurangi kerusakan saraf yang disebabkan penyakit multiple sclerosis.

Baca juga: Paru-paru Mini Bantu Ilmuwan Pelajari Virus SARS-CoV-2 sampai Uji Obat Covid-19

 

Dalam uji coba yang dilakukan, SNG001 diberikan kepada 48 pasien menggunakan neulizer, sementara 50 pasien lainnya menerima plasebo.

Para peneliti menemukan setelah dua minggu, pasien yang mendapat perawatan harian selama lebih dari dua kali memungkinkan mendapat hasil yang lebih baik pada hari ke 15 atau 16.

Sedangkan pasien yang mendapatkan perawatan lebih dari tiga kali, maka kondisinya akan semakin membaik pada hari ke 28 daripada mereka yang mendapat plasebo.

"Namun, kemungkinan tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok pengobatan yang keluar dari rumah sakit atau waktu keluar dari rumah sakit," kata peneliti.

Ilustrasi pasien positif Covid-19 parah mendapatkan perawatan intensif.SHUTTERSTOCK/Halfpoint Ilustrasi pasien positif Covid-19 parah mendapatkan perawatan intensif.

Para peneliti dari perusahaan bioteknologi tersebut dan institusi lainnya menemukan bahwa selama dua minggu pengobatan ada 21 pasien, atau sekitar 44 persen, dalam kelompok SNG001 sembuh dari penyakit dibandingkan 11 pasien atau sekitar 22 persen pada kelompok plasebo.

Kemudian pada hari ke 28, pada 58 persen pasien pada kelompok SNG001 telah pulih dari Covid-19, dibandingkan pada 35 persen kelompok plasebo. Namun selama penelitian, pada kelompok plasebo dilaporkan ada tiga pasien yang meninggal.

Para peneliti juga melaporkan efek samping yang umumnya dikeluhkan pasien pada kelompok SNG001 adalah sakit kepala.

Peneliti meyakini bahwa SNG001 adalah pengobatan yang telah dipelajari dan terbukti dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien dengan asma dan COPD.

Baca juga: Terbukti, Penyakit Autoimun Multiple Sclerosis Disebabkan Bakteri Usus

 

Bahkan tampaknya juga ditoleransi oleh para pasien yang dirawat di rumah sakit dengan Covid-19.

"Data menggembirakan ini memberikan alasan yang kuat untuk studi internasional yang lebih besar dalam konteks beban klinis Covid-19 yang sedang berlangsung," tulis peneliti.

Masih diperlukan uji fase 3

Kendati demikian, studi ini masih memiliki keterbatasan, termasuk dari jumlah pasien yang menjadi bagian dari penelitian ini yang masih sedikit.

Baca juga: Konsorsium Riset Covid-19 Tegaskan, Belum Ada Obat Covid-19 di Dunia

 

"Sepertinya ada sinyal di sini, tapi tidak jelas seberapa besar sinyalnya. Tidak ada bukti bahwa ada tanda dramatis, seperti kematian, dan ini penelitian kecil," kata Dr. Jay Finigan, ahli paru dan direktur Pusat Pernapasan di National Jewish Health di Denver, yang tidak terlibat dalam penelitian.

Oleh sebab itu, Finigan menyarankan agar dilakukan uji coba fase 3. Sebab, secara keseluruhan hasil studi ini baru berdasarkan jumlah subjek yang relatif kecil.

"Tidak ada sinyal dalam hal-hal seperti keluarnya cairan atau kematian, meskipun sudah pasti tidak diberdayakan untuk itu," kata Finigan.

Bahkan, saat ini obat remdesivir adalah satu-satunya pengobatan untuk terapi Covid-19 yang disetujui oleh FDA.

Ilustrasi perawatan intensif pasien positif Covid-19 di ICU rumah sakit.SHUTTERSTOCK/FunKey Factory Ilustrasi perawatan intensif pasien positif Covid-19 di ICU rumah sakit.

Selain itu, ada juga pengobatan antibodi Eli Lilly dan plasma pemulihan, yang telah mengantongi izin otorisasi penggunaan darurat dalam pengobatan Covid-19.

Finigan menambahkan ada beragam obat dengan mekanisme terapi yang berbeda. Bahkan, ada jenis obat yang dihirup yang sedang dipikirkan untuk menargetkan area yang berbeda.

"Ada obat antivirus, ada obat yang bekerja pada sistem kekebalan, antibodi, ada pula yang mencoba menargetkan peradangan dan beberapa mediator peradangan," jelas Finigan.

Namun, dia menyayangkan data yang dipublikasikan tentang potensi obat yang biasa diberikan kepada pasien multiple sclerosis ini masih terbatas pada sejumlah kecil pasien.

Baca juga: Donald Trump Positif Covid-19 Diberi Dexamethasone, Obat Apa Itu?

 

Nathan Peiffer-Smadja dan Yazdan Yazdanpanah, keduanya dari Rumah Sakit Bichat-Claude Bernard di Paris juga menegaskan pengtingnya uji klinis acak berskala besar terhadap SNG001.

"Keamanan interferon beta-1a nebulisasi akan menjadi perhatian khusus karena nebulisasi interferon belum memiliki izin pemasaran untuk indikasi apapun," tulis Peiffer-Smadja dan Yazdanpanah dalam editorial yang diterbitkan bersamaan dengan studi baru di The Lancet Respiratory Medicine.

Mereka juga mengatakan bahwa uji coba skala besar ini juga bermanfaat untuk menyelidiki apakah interferon beta-1a berdampak pada gejala Covid-19 yang berkepanjangan (long Covid-19).

"Untuk mengoptimalkan efek antivirus dari interferon beta (obat multiple sclerosis), ada alasan yang lebih besar untuk menargetkan pasien pada tahap awal penyakit," jelas mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com