Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Pahlawan dan Pentingnya Peran Tionghoa dalam Pertempuran Surabaya

Kompas.com - 10/11/2020, 14:00 WIB
Gloria Setyvani Putri

Penulis

KOMPAS.com - Setiap 10 November, kita memperingati Hari Pahlawan untuk mengingat Pertempuran Surabaya tahun 1945. Saat itu, para tentara dan miliki Indonesia yang pro kemerdekaan berperang melawan tentara Britania Raya dan Belanda.

Pertempuran Surabaya ini melibatkan banyak kalangan, termasuk para pemuda Tionghoa yang membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Tionghoa.

Dikatakan Hendra Kurniawan, sejarawan sekaligus Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Sanata Dharma (USD), Yogyakarta, para anggota TKR Tionghoa menyerukan persaudaraan dengan pemuda-pemuda lain yang ada di Surabaya.

"Mereka (anggota TKR Tionghoa) juga menempel berbagai selebaran berisi anjuran untuk menolak kerja sama dengan Inggris," kata Hendra kepada Kompas.com, Selasa (10/11/2020).

Baca juga: Jarang Disorot, Ini 3 Peran Penting Etnis Tionghoa dalam Sumpah Pemuda

Tak berhenti sampai di situ, orang Tionghoa juga membangun Palang Merah Tionghoa di Surabaya agar bisa memberi pertolongan kemanusiaan bagi korban pertempuran tersebut.

Menurut Hendra, Majalah Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) mencatat bahwa palang merah Tionghoa ini membuka 10 pos dengan 11 dokter dan 600 paramedis.

"Biayanya dari Chung Hua Chung Hui," ungkap Hendra.

Tak hanya warga lokal Surabaya, pergerakan pemuda Tionghoa juga datang dari Malang.

Seperti Giam Hian Tjong, Auwyang Tjoe Tek, dan Go Gien Tjwan yang tergabung dalam Angkatan Muda Tionghoa (AMT) dari Malang. Mereka berangkat ke Surabaya bergabung dengan Bung Tomo.

Go Gien Tjwan yang merupakan juru bicara AMT Malang pernah mengatakan bahwa Belanda musuh bersama.

Dalam Kronik Revolusi Indonesia (1), Pramoedya Ananta Toer juga menulis tentang seorang pemimpin Tionghoa yang berpidato di radio terkait perlawanan kepada sekutu.

Pemimpin yang tidak disebutkan namanya ini menyebut bahwa Tionghoa ikut menjadi korban dalam perang tersebut. Sebab itu, Tionghoa mendukung Indonesia dan membantu melawan sekutu atau Belanda di masa itu.

 Truk tentara sekutu melintasi dinding-dinding bertuliskan semboyan perjuangan Indonesia, diduga di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Bung Tomo yang
berkunjung ke Jakarta setelah pertempuran Surabaya melihat deretan truk yang membawa beratus-ratus orang preman dan serdadu Serikat, bersorak-sorak seolah mereka itu telah bertempur mati-matian dan berhasil memasuki serta merebut Kota Jakarta. Sasaran serdadu NICA dan Batalyon X yang terkenal ganas itu bukan cuma Pemuda Pelopor, tetapi juga rakyat biasa dan para abang Betawi. Makanan dan uang yang dibawa rakyat dirampasnya, kenang wartawan Merdeka Rosihan Anwar. Fotografer Antara, Abdoel Kadir Said, pernah tertangkap mengenakan lencana Merah Putih. Ia dipaksa menelan benda dari seng itu. IPPHOS Truk tentara sekutu melintasi dinding-dinding bertuliskan semboyan perjuangan Indonesia, diduga di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Bung Tomo yang berkunjung ke Jakarta setelah pertempuran Surabaya melihat deretan truk yang membawa beratus-ratus orang preman dan serdadu Serikat, bersorak-sorak seolah mereka itu telah bertempur mati-matian dan berhasil memasuki serta merebut Kota Jakarta. Sasaran serdadu NICA dan Batalyon X yang terkenal ganas itu bukan cuma Pemuda Pelopor, tetapi juga rakyat biasa dan para abang Betawi. Makanan dan uang yang dibawa rakyat dirampasnya, kenang wartawan Merdeka Rosihan Anwar. Fotografer Antara, Abdoel Kadir Said, pernah tertangkap mengenakan lencana Merah Putih. Ia dipaksa menelan benda dari seng itu.

Penting diketahui banyak orang

Hendra mengatakan, informasi sejarah tentang keterlibatan Tionghoa membantu Indonesia melawan sekutu harus diketahui banyak orang.

"Supaya (kita) mengerti bahwa orang Tionghoa juga ikut mempertahankan kemerdekaan RI, ikut terlibat dalam pertempuran Surabaya dan daerah-daerah lain," tegas Hendra.

Salah satu tokoh Tionghoa yang ikut dalam pertempuran di Solo adalah Ferry Sie King Lien.

Ferry Sie King Lien yang lahir dari keluarga pemilik pabrik gelas tersohor di Kartodipuran, Surakarta, Jawa Tengah adalah satu dari sedikit Tentara Pelajar dari kalangan Tionghoa yang ikut dalam pertempuran di Solo tahun 1949.

Ferry Sie King Lien tertembak dalam pertempuran. Berkat perjuangannya, pemerintah Indonesia memutuskan memindahkan makamnya dari pemakaman umum ke Taman Makam Pahlawan Taman Bahagia, Solo.

Baca juga: Menilik Jejak Masyumi, Partai Politik Besar yang Bubar di Era Soekarno

"Tionghoa juga bagian dari Bangsa ini, mereka turut berjuang. Tapi baru ada 1 Tionghoa yang diangkat sebagai pahlawan, yakni John Lie pada 2009," kata Hendra.

Hendra menyebut, informasi sejarah ini sudah seharusnya dimasukkan ke dalam pembelajaran sejarah, ke dalam buku teks pelajaran di sekolah.

"Tentu tidak semua informasi. Tapi setidaknya ketika disebut pemuda mana saja yang bergabung dalam pertempuran Surabaya, banyak orang tahu salah satu yang terlibat adalah para pemuda Tionghoa," tegasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com