Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/10/2020, 12:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TANGGAL 10 Oktober merupakan World Mental Health Day yang dirayakan secara luas di seluruh dunia. Topik tahun ini adalah "mental health for allI", yang berarti kesehatan jiwa untuk semua, termasuk juga mereka yang mengalami penyakit kronik.

Berdasarkan World Health Organization (WHO), definisi penyakit kronik secara luas adalah kondisi dalam satu tahun terakhir atau lebih yang membutuhkan penanganan medis atau membatasi aktivitas sehari-hari, atau keduanya.

Berbeda dari penyakit yang akut, perjalanan penyakit kronik bahkan dapat berlangsung seumur hidup. Tidak semua hasil akhir dari penyakit kronik menjadi sembuh yang terbebas sama sekali dari penyakitnya. Sebagian penyakit kronik tidak dapat sembuh total, tetapi mampu mencapai kondisi remisi yang berarti menunjukkan gejala yang terkontrol baik melalui pengobatan dan perubahan gaya hidup.

Selain berjuang dengan kesehatan fisik, banyak pasien dengan penyakit kronik juga berjuang dengan kesehatan mental mereka. Penyakit autoimun merupakan kelompok penyakit yang berlangsung kronik. Dan salah satu adalah Systemic Lupus Erithomatosus (SLE), atau sering dikenal sebagai penyakit lupus.

Untuk dapat menyelami proses yang dialami para pasien dengan SLE, mari mengenal lebih lanjut penyakit yang sering dijuluki sebagai penyakit 1.000 wajah ini.

Autoimun adalah respon sistem kekebalan tubuh yang tidak normal. Dalam kondisi normal, sistem kekebalan bertugas menjaga dari kuman yang potensial menyebabkan infeksi dan sel tubuh yang tidak berfungsi normal seperti sel kanker. Namun dapat timbul situasi sistem kekebalan tubuh justru menyerang sel normal dalam tubuh sehingga timbul berbagai gejala penyakit.

Penyakit autoimun dapat terjadi pada organ tubuh tertentu seperti kulit, ginjal, jantung; tetapi juga dapat terjadi secara menyeluruh (sistemik). Istilah sistemik mengacu pada banyaknya sistem organ tubuh yang terkena sehingga bila banyak, akan ada fenomena umum seperti demam berkepanjangan, penurunan berat badan, rasa lelah, dan penurunan kualitas hidup.

Gejala dan perjalanan penyakit SLE berbeda antara pasien yang satu dengan yang lain. Pada pasien tertentu, gejala yang dialami dapat berupa pucat terus-menerus yang membutuhkan transfusi berulang. Ada yang berupa gangguan sistem saraf, kelainan kulit, kelainan ginjal, nyeri sendi berkepanjangan, atau gangguan pada jantungnya.

Itulah alasan di balik julukan penyakit 1.000 wajah, yang mencerminkan gambaran klinis yang sangat luas dan tidak khas pada SLE.

Karena tidak khas, tidak jarang diagnosisnya terlambat dan menyebabkan penurunan kualitas hidup yang sebenarnya dapat dicegah bila terdeteksi lebih awal. Oleh karena itu, kecurigaan tinggi terhadap SLE patut selalu dipertimbangkan pada wanita usia produktif yang mengalami rangkaian gejala secara berkepanjangan.

Sejumlah pemeriksaan mulai dari pemeriksaan darah dan penunjang lain akan dilakukan untuk kepastian diagnosis, dan terapi segera dimulai bila kriteria diagnosis SLE terpenuhi, meliputi sejumlah obat untuk menekan respon imun.

Perjalanan pasien mulai dari mengalami berbagai gejala yang dapat berlarut-larut, dilanjutkan menunggu berbagai proses pemeriksaan, dan kemudian mendapatkan terapi hingga gejala dapat terkontrol merupakan suatu proses panjang yang tidak mudah.

Kisah Dinda

Dinda berusia 16 tahun ketika ia harus menjalani seluruh proses tersebut, dan sampai saat ini sudah dua tahun ia bergelut dengan penyakit SLE.

Awalnya, Dinda mengalami demam yang terus naik-turun dan disertai gejala muntah. Ia sempat dirawat inap di rumah sakit dan dikatakan menderita penyakit demam tifoid (tipes). Namun, gejalanya meluas hingga ia dicurigai menderita leukemia atau keganasan darah. Keluarganya kemudian memindahkan Dinda ke rumah sakit lain untuk kejelasan penyakitnya.

Beberapa hari kemudian, ia malah mengalami lepuh di sekujur kulitnya yang kemudian mengelupas dan menghitam. Ia dicurigai mengalami reaksi alergi yang sangat berat terhadap obat. Tubuhnya lalu menguning dan ia mengalami gagal hati. Beratnya menyusut delapan kg menjadi 30 kg.

Setelah kondisinya cukup stabil, keluarga membawa pulang Dinda untuk kemudian berobat jalan ke RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM). Di sana, ia diminta untuk rawat inap kembali untuk menjalani perawatan hingga kondisinya benar-benar perbaikan.

Kondisi Dinda ketika dirawat karena SLEDiberikan oleh dr Ignatia Karina Kondisi Dinda ketika dirawat karena SLE

Dua bulan kemudian, kondisinya mulai turun kembali. Dinda mengalami sariawan hingga tidak dapat makan, beratnya turun lagi, rambutnya rontok, dan seluruh tubuhnya terasa lemas.

Saat kontrol ke Klinik Alergi Imunologi Anak RSCM, ia segera dimasukkan ruang rawat inap kembali untuk perbaikan kondisi dan dicurigai sebagai SLE. Setelah menjalani sejumlah pemeriksaan, diagnosis SLE ditegakkan pada dirinya.

Pertama kali mendengar bahwa ia mengalami lupus, Dinda segera mencari tahu sendiri melalui internet. Informasi yang didapat membuatnya terhenyak tetapi kemudian memantik semangat untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai penyakitnya dan berjuang untuk ‘sembuh’.

Tidak jarang ia bertanya sana sini kepada para tenaga medis yang merawatnya mengenai seluk beluk dari penyakit tersebut.

Proses terapi dimulai selagi Dinda dirawat; obat steroid untuk menekan respons imunnya mulai membuat tubuhnya merasa lebih baik dan gejala yang dialaminya perlahan terkontrol, sehingga ia dapat rawat jalan setelah 8 hari rawat inap.

Namun dalam 4 hari pasca perawatan, muncul gejala baru berupa pusing berputar disertai mual dan muntah-muntah bila membuka mata. Kembali Dinda harus dirawat inap di RSCM.

Pemeriksaan lebih lanjut menunjukkan SLE juga yang menyebabkan kelainan pada sistem sarafnya berupa gangguan pada sistem yang mengatur keseimbangan, selain juga telah diketahui sebelumnya ada masalah dengan pembekuan darahnya, dan gangguan jantung.

Kali ini ia menerima terapi sitostatika yang biasa diberikan untuk pasien kanker dan beberapa obat lain. Momen ini adalah titik terendah yang dialami Dinda karena berhari-hari ia hanya bisa berbaring dan tidak bisa membuka mata sama sekali. Baru setelah 15 hari perawatan di RS, ia mulai bisa membuka mata pelan-pelan sambil terus dalam posisi berbaring.

Karena penyakit SLE pada Dinda melibatkan banyak organ, maka penanganannya melibatkan berbagai divisi, mulai dari alergi imunologi, neurologi (ilmu yang mendalami sistem saraf), kardiologi (ilmu yang mendalami jantung), hemato-onkologi (ilmu yang mendalami kelainan darah dan keganasan), dan nutrisi anak. Dalam perawatannya, Dinda juga mendapat psikoterapi dengan dokter dari bagian psikiatri anak.

Dari situlah ia mulai kembali menemukan semangat untuk terus berusaha melanjutkan pengobatannya.

Selama dirawat, Dinda beberapa kali menerima kunjungan dari teman-teman sekolahnya. Walaupun senang, ia juga minder dengan kondisinya. Apalagi saat temannya seru bercerita tentang kegiatan di sekolah, tidak dapat disangkal bahwa Dinda malah merasa kesal.

Namun, selama perawatan tidak disangka ia juga mendapat teman baru. Pada saat yang sama, ada pasien anak lain sesama penderita lupus yang juga sedang dirawat dan ternyata bersaudara dengan teman sekolah Dinda di bangku SMP. Kebetulan tersebut membuat mereka berdua menjadi dekat, dan Dinda banyak mendapatkan sharing karena teman barunya sudah 6 tahun menjalankan pengobatan untuk lupus.

Semangat dari para dokter, perawat, dan teman baru membuat Dinda bangkit kembali dari keterpurukannya. Pada satu titik, ia mengambil keputusan bahwa meskipun sakit, ia tidak perlu minder dan tidak perlu mendengar pendapat orang lain. Ia cukup terus berusaha untuk sembuh.

Seiring dengan terapi yang diterimanya, perlahan Dinda mulai dapat memiringkan tubuhnya dan tidak melulu berbaring telentang. Walaupun kemudian dapat rawat jalan setelah hampir 1 bulan dirawat di rumah sakit, selama beberapa lama Dinda masih tergantung dengan kursi roda yang dapat diturunkan hingga posisi setengah berbaring.

Ia juga masih terus menjalani rawat inap berkala untuk mendapatkan terapi sitostatika yang diberikan langsung melalui pembuluh darahnya. Walaupun termasuk obat keras, terapi itu serasa ‘charge’ tambahan bagi tubuh Dinda. Baru setelah 4x mendapat obat sitostatika, ia baru bisa duduk. Dan pada sesi terapi ke-7 dan 8, Dinda baru kemudian dapat kembali mulai berjalan.

Selain rutin mendapat terapi sitostatika, Dinda paham bahwa ia harus disiplin dalam minum obat-obatan yang diberikan oleh dokter. Untuk mengontrol gejalanya, ia mendapat 15 macam obat dengan total 21 tablet yang harus diminum tiap hari.

Terapi steroid segera membuat bobotnya melesat mencapai 75 kg, dan wajahnya tampak bengkak. Meski demikian, ia sudah bertekad untuk tidak lagi merasa minder. Apalagi seiring perbaikan kondisinya, dosis obat pun diturunkan hingga dosis yang paling ideal, dan berat badannya pun mulai perlahan kembali ideal hingga 53 kg.

Pada awalnya, semua obat tersebut masih disiapkan oleh sang bunda. Namun, perlahan Dinda mulai diberikan kepercayaan untuk bertanggung jawab sendiri terhadap semua obat yang harus diminumnya. Walaupun terlambat, ia tidak pernah absen minum obat. Ia sudah mengerti bahwa itulah kunci untuk terus berada dalam kondisi terkontrol.

Pernah satu saat Dinda mulai merasa malas untuk minum obat. Namun, saat kontrol ke rumah sakit, tiba-tiba ia diminta untuk memberi semangat kepada pasien lupus lain yang saat itu sedang mogok makan dan minum obat. Titipan untuk menyemangati teman seperjuangannya ternyata juga langsung menyuntikkan semangat Dinda kembali untuk minum obat. Dan teman yang disemangatinya pun mau minum obat kembali.

Terapi bagi para pasien lupus tidak sekadar obat. Mereka juga harus mengontrol aktivitasnya karena tidak boleh terkena matahari secara langsung. Selain itu, bagi Dinda juga lebih berat karena tubuhnya sesekali masih terasa oleng dan berputar bila salah posisi tidur, dan jantungnya pun sempat terganggu hingga harus mendapat terapi penguat jantung. Sulit baginya untuk beraktivitas tanpa ditemani oleh keluarganya, terutama oleh ibunya.

Banyak penderita penyakit kronik akhirnya terpaksa mengorbankan pendidikan resminya, termasuk juga Dinda. Sejak jatuh sakit, Dinda meninggalkan bangku sekolahnya dan melewatkan 1 tahun pelajaran.

Namun setelah kondisinya lebih stabil, seorang dokter menyarankan ia untuk mulai mengambil kejar paket C. Dinda dan ibunya pun mencari informasi sendiri mengenai program tersebut. Tidak disangka, Dinda mendapat kemudahan dalam proses melanjutkan pendidikannya.

Lalu, karena masih belum dapat naik tangga tanpa muncul gejala pusing berputar kembali, ia mengalami keterbatasan untuk datang ke tempat ia mendaftar program paket C karena lokasinya berada di lantai dua.

Namun, sungguh kejutan bagi mama Dinda saat mengetahui bahwa kepala sekolah dari tempat program paket C yang diikuti ternyata bersaudara dengan dokter yang ikut menyarankan putrinya untuk bersekolah kembali.

Paham dengan keterbatasan Dinda, pihak sekolah pun tidak memaksanya. Oleh karena itu, setiap bahan pelajaran dikirimkan langsung ke rumahnya dan kemudian setelah Dinda menyelesaikan tugasnya, bahan tersebut akan segera dikirim kembali ke pihak sekolah dengan menggunakan jasa ojek daring. Pada kondisi pandemi saat ini, proses pengajaran dan ujian pun semua dilakukan secara daring.

Akhirnya, pada bulan Juli lalu, Dinda berhasil menyelesaikan pendidikannya dan berhasil meraih ijazah lulus SMA.

Selain lulus SMA, Dinda juga ‘lulus’ sebagai pasien anak. Tahun ini, Dinda genap berusia 18 tahun. Pada usia tersebut, secara hukum ia resmi menjadi dewasa sehingga pengobatannya pun tidak lagi di bagian Ilmu Kesehatan Anak, tetapi akan dilanjutkankan di bagian Ilmu Penyakit Dalam.

Sebelum ‘transfer’ ke bagian dewasa, Dinda menjalankan berbagai pemeriksaan kembali untuk mengetahui efek samping dari terapi steroid yang dijalaninya selama ini. Ternyata ia mengalami glaukoma, yaitu peningkatan tekanan bola mata yang dapat mengganggu fungsi penglihatan.

Oleh karena itu, ada terapi tambahan untuk kedua matanya dan dosis steroid yang diminumnya pun harus diturunkan. Namun dengan penurunan dosis, berat badannya ikut menurun, hingga saat ini menjadi 46 kg, dan tidak dapat disangkal bahwa ia juga merasakan penurunan kondisi tubuhnya.

Perjalanan Dinda berjuang dengan penyakitnya masih panjang. Namun, dalam seluruh proses ini, dari awal Dinda didukung penuh oleh seluruh keluarganya, baik papa, mama, maupun kakak perempuannya.

Kondisi pasien dengan penyakit kronik tentu akan memengaruhi keluarga, dan dukungan dari seluruh anggota keluarga memiliki peran penting bagi kesehatan sang pasien, baik secara fisik maupun mental.

Hubungan Dinda dengan kakak perempuannya sempat terganggu karena merasa saling cemburu terhadap perhatian mama. Namun mama selalu mengajak kedua putrinya berkomunikasi dan saling mengerti kondisi masing-masing, hingga perlahan keduanya menjadi lebih dekat. Bahkan kakaknya-lah yang memberikan Dinda tempat khusus untuk menaruh semua tablet obat untuk mepermudahnya minum obat.

Saat ini, Dinda masih mendapat 7 macam obat dengan total 10 tablet yang harus diminum tiap hari, dan tetap tidak kendor hingga sekarang. Kini, bila waktunya untuk kontrol, Dinda, mama, dan kakaknya akan selalu kompak menggunakan baju kembar bersama. Bahkan papanya juga beberapa kali menyempatkan ikut mengantar Dinda kontrol.

Dinda memiliki cita-cita untuk melanjutkan kuliah di bidang akuntansi. Namun, ia memutuskan untuk istirahat dulu karena kondisi pandemi saat ini. Kegiatan sehari-hari diisinya dengan berolah raga dan membantu bundanya di rumah.

Tentu saja karena tidak boleh kena matahari, Dinda bangun sangat pagi untuk berolah raga seperti naik sepeda. Dan ia selalu keluar dengan perlindungan penuh dari atas kepala hingga ujung kakinya.

Cita-cita lain Dinda adalah memberikan semangat bagi teman-temannya sesama pasien lupus. Bahkan ada yang kemudian memintanya untuk membuat grup chatting bersama untuk saling memberi semangat.

Untuk penderita penyakit kronik, support group dapat memberikan bantuan berharga, untuk mengetahui bahwa mereka tidak sendirian. Dan itulah harapan Dinda untuk semua penyandang lupus, agar mereka selalu semangat untuk minum obat dan menjalani gaya hidup yang diperlukan untuk membuat kondisi lupus terkontrol.

Semua obat terus diminumnya tanpa pernah absen agar tidak mengalami perburukan gejala atau disebut flare hingga harus mengulang pengobatan dari awal.

Melihat proses yang dialami Dinda, banyak yang menganggapnya sebagai sebuah keajaiban. Bagaimana dari awal Dinda terpuruk hanya bisa berbaring tapi sekarang dapat berjalan, bersepeda, dan menyelesaikan pendidikan SMA-nya, sungguh merupakan anugrah dan hasil dari semangat Dinda dan kesabaran keluarga yang menemaninya serta kerja sama dengan para dokter.

Tentu semua tidak lepas dari pengawasan para dokter, terutama para konsultan alergi imunologi anak di RSCM yang dari awal menanangani kasus Dinda, antara lain dr. Nia Kurniati, Sp.A(K), dr. Dina Muktiarti, Sp.A(K), dan dr. Rizqi Amalia, Sp.A. Ia juga selalu merasa berterima kasih kepada setiap dokter yang ia temui dalam proses pengobatannya, mulai dr. Andin, dr. Lucy, dr. Refa, dr. Fahreza, dr. Ucha, dr. Cahya, dan dr. Icha.

Menurut Dinda, kuncinya adalah tetap semangat minum obat dan rutin kontrol. Menurut mama Dinda, kuncinya adalah sabar dan sesekali mengalah terhadap kemauan sang anak untuk membuatnya tetap semangat. Dan dalam setiap kondisi, Dinda dan keluarganya juga selalu bersyukur atas kemudahan dan kebaikan yang datang dalam perjuangan Dinda.

Semangatnya selalu tampak dari wajahnya yang penuh senyum, sering tertawa, dan tidak pernah mengeluh. Itulah Dinda, seorang gadis dengan SLE, yang terus berjuang untuk tetap sehat secara fisik, dan secara mental.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com