Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
BRIN
Badan Riset dan Inovasi Nasional

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. BRIN memiliki tugas menjalankan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi yang terintegrasi.

Membaca Pola Karhutla

Kompas.com - 25/09/2020, 18:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Sugeng Budiharta

KEBAKARAN hutan dan lahan (harhutla) di Indonesia telah menjadi bencana rutin tiap tahun. Kebijakan dan upaya di lapangan terus dilakukan oleh berbagai lembaga dari pusat hingga daerah. Presiden Jokowi tidak bosan-bosan menekankan kewaspadaan dalam mitigasi dan penanggulangan karhutla.

Selain kewaspadaan, diperlukan kecermatan dalam membaca pola karhutla untuk efektifitas mitigasi dan efisiensi sumber daya.

Saat ini dan beberapa bulan ke depan, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki musim kemarau. Meskipun di beberapa daerah hujan masih terjadi, bahkan mengakibatkan banjir, potensi resiko kekeringan dan karhutla masih mengintai di bulan-bulan mendatang.

Tak kurang, Presiden, Ketua MPR dan Menko Polhukam mengingatkan perlunya antisipasi permasalahan karhutla meski negara tengah berjuang melawan pandemi Covid-19 (Media Indonesia, 24 Juni 2020).

Di tengah keterbatasan sumber daya, baik anggaran, waktu dan sumber daya manusia, karena sebagian besar dialokasikan untuk penanganan Covid-19, diperlukan strategi mitigasi yang tepat untuk menangani karhutla sehingga sumber daya tersebut tidak mubadzir.

Pemahaman mengenai kapan, di mana dan siapa di balik karhutla diperlukan untuk menentukan strategi mitigasi yang efektif.

Pola karhutla

Hasil penelitian kami yang baru diterbitkan di jurnal ilmiah Global Environmental Change menunjukkan bahwa sebaran dan intensitas karhutla mempunyai pola tertentu bergantung pada kondisi iklim tahunan, lokasi dan sektor penggunaan lahan.

Memang secara umum, karhutla terjadi setiap tahun. Namun kajian kami menemukan bahwa karhutla dengan sebaran yang sangat luas dan intensitas sangat tinggi terjadi pada saat kondisi iklim sedang mengalami musim kemarau panjang dengan curah hujan sangat rendah, atau sering disebut El-Nino.

Pada tahun-tahun kering tersebut, misalnya tahun 2002, 2006 dan 2015, kejadian karhutla meningkat secara eksponensial, bahkan hingga delapan kali lipat dibandingkan tahun-tahun biasa.

Kejadian karhutla juga berkaitan erat dengan lokasi di mana kebakaran tersebut terjadi. Lahan gambut yang terdegradasi berat dengan tutupan hutan yang terbatas mengalami kebakaran jauh lebih parah dibandingkan pada lahan non-gambut dengan kondisi hutan yang masih baik.

Lahan gambut terbentuk dari tumpukan material organik tumbuhan yang tidak membusuk dengan sempurna karena adanya genangan air. Pada kondisi aslinya dengan tutupan hutan yang baik, lahan gambut hampir selalu basah sepanjang tahun.

Namun seringkali, untuk pembukaan lahan pertanian, perkebunan dan kehutanan, hutan pada lahan gambut ditebang dan gambutnya dikeringkan dengan cara membuat kanal. Dapat dibayangkan, gambut kering dengan tutupan hutan yang minim tersebut menjadi bahan bakar yang awet, terutama pada tahun-tahun kemarau panjang.

Selain iklim dan kondisi lahan, sektor penggunaan lahan juga menentukan pola dan tingkat keparahan karhutla. Pada tahun-tahun dengan musim kemarau yang pendek, karhutla dengan intensitas rendah terutama terjadi pada daerah yang didiami masyarakat tradisional yang bergantung pada sektor pertanian subsisten. Masyarakat tersebut umumnya berada di pelosok atau sekitar hutan dan terbiasa mempraktekkan pola ladang berpindah.

Namun, pada saat tahun-tahun kering El-Nino, karhutla dengan intensitas tinggi merebak terutama di kawasan perkebunan intensif. Umumnya, sektor penggunaan lahan ini berada di areal terbuka dengan tutupan hutan yang terbatas, relatif lebih mudah diakses, dan sebagian berada di kawasan gambut yang terdegradasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com